Kamis, 26 Maret 2009

[resensi buku] Belajar Dari Kecerdikan Iran

Moh Yasin, Koran Jakarta edisi, 31 Mei 2008

Selama satu dekade terakhir, lewat kekuatan sistem diplomasi, kekayaan minyak, keberanian, dan semangat nasionalisme religiusnya, Iran merasa tidak pernah butuh dan tertarik terhadap bantuan Amerika. Sebaliknya, Iran semakin bangga dengan kecaman-kecaman Amerika. Bahkan, Ahmadinejad, Presiden Iran saat ini, dengan lantang menyatakan bahwa tidak ada gunanya penyelesain konflik AS-Iran lewat diplomasi, yang berguna adalah konfrontasi, dan sikap anti imperealisme dan hegemoni terhadap Barat.

Sikap anti arogansi dan hegemoni Iran ini sebenarnya didasarkan pada satu fakta sejarah hubungan politik yang buruk dan tidak resiprokal antara AS-Iran. Yaitu peristiwa kudeta atas perdana mentri Iran Dr. Mohammad Mosaddeq pada tahun1953, yang dilakukan oleh Amerika lewat CIA bekerjasama dengan Britania SIS. Britania dan Amerika meruntuhkan pemerintahan Front Nasioinal Musaddeq demi tujuan menentang kebijakan nasionalisasi minyak Iran dan kebijakan diplomasi terusan Suez.

Peristiwa kudeta terhadap Musaddeq ini memunculkan sikap anti Barat di masyarakat Iran, rakyat Iran merasa dikhianati dan didhalimi oleh AS. Dimana perasaan tertindas dan rasa ketidakadilan ini pada akhirnya memuncak dan melahirkan Revolusi Islam Iran yang dikomandoi oleh Imam Khomeini.

Lewat revolusi Islam, Negara Republik Islam Iran (RRI) menjadi Negara anti Amerika, memutus hubungan diplomatik dengan Amerika, mengambil alih kedutaan AS, membakar bendera AS, menyandera kedutaan, menolak keberadaan Israel, dan kembali kepada pentingnya religiusitas dan etika. Iran juga anti terhadap liberalisme, materialisme ala Amerika.

Buku karya Ali M Ansari --seorang Professor kajian Timur Tengah di University of St Andrews dan peneliti di program Timur Tengah Chatham House London—yang semula berjudul Confronting Iran ini ingin mendedahkan secara historis fakta hubungan Iran-AS dalam konteks kemerosotan kerajaan Iran dan kebangkitan nasionalisme religius, juga sikap Iran atas berbagai kebijakan-kebijakan Amerika yang berujung pada konfrontasi yang berevolusi hingga sekarang.

Secara historis, hubungan Iran-AS tidaklah berjalan se-ekstrim sepuluh tahun terakhir, sejarah hubungan Iran-AS juga pernah berlangsung mesra dalam berbagai kepentingan politik, ekonomi, dan militer. Sebelum berujung pada hubungan yang konfrontatif yang berlangsung hingga sekarang.

Dengan pendekatan historis kronologis, Ali M. Ansari menunjukkan fakta bahwa hubungan Iran-AS diawali dengan sebuah hubungan diplomatik yang mesra, demi menyelamatkan keuangan kerajaan Iran yang kacau. Amerika pada tahun 1911 mengirimkan Morgan Shuster--seorang Bankir Niaga Amerika-- ke Iran, dan seorang penasehat ekonomi, Arthur Chester Millspaugh, demi memimpin keuangan kerajaan di Iran. Di bawah tangan Shuster dan Millspaugh keuangan Iran berkembang dengan pesat, ekonomi Iran mulai terbangun dan Iran mulai menjalin hubungan perdagangan dengan Barat.

Amerika, bersama Rezim Reza Shah, telah membawa kebangkitan perekonomian Iran, akibat dukungan dana yang besar dari Amerika dan sikap Rezim Reza Shah yang pro-Israel. Bahkan, Reza Shah sempat menjadi Kaisar minyak dunia, melakukan banyak infestasi di luar negeri. Shah bahkan berambisi ingin meletakkan Iran dalam posisi yang sejajar dengan Britania dan Amerika. Di masa ini pula Amerika dan sekutu mendukung program nuklir Iran, dengan asumsi agar tenaga listrik Iran tercukupi dan agar minyak bisa tereksploitasi lebih besar. Amerika menandatangani perjanjian memasok uranium selama 10 tahun dengan Iran, sementara Prancis memberi bantuan SDM dan Britania berupa pendanaan.

Hubungan Iran-AS kembali mencuat pada pergantian Abad ke-20. Saat itu Iran merasa tidak nyaman dengan cara perdagangan Barat, yang cenderung menggunakan kekuatan-kekuatannya untuk berebut minyak di Iran. Iran pun ingin melepaskan diri dari manipulasi politik dari Rusia dan Britania Raya, yang saat itu berebut kekayaan di Iran. Iran memandang bahwa posisi Amerika sebagai sebuah peluang untuk melepaskan diri dari manipulasi politik Rusia dan Britania Raya. Hubungan Iran-AS kembali berlangsung mesra, dengan berbagai program pengembangan ekonomi, pendidikan, budaya dan politik Iran.

Peristiwa kudeta 1953 terhadap Mosaddeq benar-benar menjadi momentum buruk hubungan Iran-AS. Bantuan AS yang memajukan perekonomian Iran dengan dibarengi penjajahan kapitalisme dan materialisme dianggap oleh rakyat Iran sebagai godaan setan. Kebencian rakyat Iran tidak dapat dicegah akibat benturan peradaban ini. Dan lahirlah Revolusi Iran dengan ditandai berdirinya Negara Republik Islam Iran. Sebuah segara dengan semangat keberanian tinggi yang diikuti dengan nasionalisme religius yang tinggi. Sumbangan AS lewat Shuster, Millspaugh dan kemajuan-kemajuan ekonomi yang diraih Rezim Reza Shah tidak ada nilainya di mata rakyat Iran. Rakyat Iran tidak percaya lagi pada sistem hukum yang dibangun oleh Barat.

Pasca wafatnya Imam Khomeini pada tahun 1989, beberapa upaya pemimpin baru Iran untuk mencoba membangun kembali hubungan AS-Iran selalu gagal. Rafsanjani, berusaha mereda konfrontasi AS-Iran lewat jalan nasionalisme, realisme dan visi ekonomi. Begitu juga Mohammad Khatami, lewat gerakan reformasi, dialog komunikasi internasional dengan prinsip kebebasan dan demokrasi Islam. Namun, semua upaya tersebut gagal sebab sikap Iran yang anti Israel.

Meski hanya menyajikan secara historis kronologis dengan analisis yang kurang tajam, dan hanya bersifat informatif. Kehadiran buku ini menjadi sangat penting dalam kaitannya menyajikan bagaimana proses berjalannya pembangunan sebuah negara dari titik nol menuju kemajuan, bahkan menjadi negara superpower. Juga menggambarkan bahwa pemimpin-pemimpin Iran selalu tepat membuat kebijakan di era-nya masing-masing. Mereka pro-Amerika saat mengalami kehancuran, dan anti Amerika saat Amerika mulai ingin mengeksploitasi dan mencuri kekayaan Iran.

*) Moh Yasin, Mahasiswa S-2 ICAS-Paramadina, Jakarta. a Branch of ICAS-London. aktif di The Indonesian famous Institute.

www.dinamikaebooks.com

0 komentar: