Jumat, 30 Januari 2009

[resensi buku] Mengangkat Budaya Betawi Dalam Khasanah Sastra Indonesia

Investor Daily, Januari 2009

Novel-novel yang melibatkan aspek sosiologi atau realitas masyarakat tampaknya kini makin digemari. Lihat saja, Tetralogi Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata terjual lebih dari satu juta eksemplar. Novel ini mengangkat realitas masyarakat dan budaya Pulau Belitung. Begitu pula novel Ayat-Ayat Cinta yang mengangkat realitas mahasiswa Indonesia di Mesir, terjual 450.000 eksemplar.

Kendati tidak sefenomenal dua novel tersebut, novel Da Peci Code mencuri perhatian pasar novel Indonesia. Novel karangan Ben Sohib itu terjual 30.000 eksemplar sejak dirilis pada September 2006. \"Saya bersyukur dengan penjualan sebesar itu,\" kata Ben Sohib kepada Investor Dailyusai peluncuran sekuel kedua novel ini Rosyid dan Delia, di Jakarta, Jumat (19/12).

Sepintas, novel ini \\\'mendompleng\\\' ketenaran novel Da Vinci Code, karangan penulis Amerika Serikat Dan Brown Tapi isinya beda sekali. Da Vinci Code mengisahkan misteri legenda cawan suci (Holy Grail) dan peran Maria Magdalena dalam sejarah Kristen, teori-teori yang oleh Kristen dipertimbangkan sebagai ajaran sesat dan telah dikritik sebagai sejarah yang tidak akurat.

Sementara itu, Da Peci Code mengisahkan perseteruan antara ayah (Mansur) dan anaknya (Rosyid). Di novel best seller itu, Rosyid menjungkalkan tradisi memakai peci putih di masyarakat Betawi-Arab. Permasalahan itu dihadirkan Ben dengan cerita yang lucu dan menghibur namun kritis.

Pengamat budaya Betawi Hikmat Darmawan mengacungkan jempol buat Ben Sohib. Menurutnya, Ben mencoba mengenalkan lebih lanjut budaya Betawi dalam khazanah sastra yang belum banyak dilakukan, penulis Indonesia. \"Ini poin yang menarik karena Betawi adalah sebuah budaya yang dinamis,\" kata Hikmat.

Ben, lanjutnya, juga mencatat pergulatan yang terjadi antara Betawi tradisional dan modern. Bahkan, beberapa pergulatan yang diangkatnya itu termasuk masalah yang gawat dan sensitif.
"Persoalan preci, itu masalah gawat. Belum lagi di buku kedua dia mengangkat pernikahan beda agama," ujar Hikmat.

Ya, di buku kedua, Rosid&Delia, Ben kembali menghadirkan rosyid yang kritis bersama pacarnya, Delia. Keduanya hadir dengan persoalan yang lebih berat: perkawinan beda agama.

\"Generasi muda Betawi-Arab kini berinteraksi dengan beragam budaya dan agama, bukan tidak mungkin perkawinan beda agama terjadi kata Ben yang menyilakan pembaca mengambil sikap sendiri atas permasalahan yang diangkatnya itu. Mengapa Betawi ? Bukan kebetulan bila Ben Sohib mengangkat budaya Betawi ke dalam khazanah sastra. Betawi, kata Ben, sangat dekat dengan kesehariannya, yang sudah 20 tahun tinggal di daerah Condet-Cililitan, Jakarta Timur. Dari pengamatannya, ada fenomena yang menarik dari masyarakat Condet. Condet, kata .Ben, adalah sebuah prototipe yang sempurna untuk masyarakat Betawi yang bisa dibilang tertinggal, kalau tidak mau dibilang terpinggirkan dari pergerakan zaman.

Dalam perkembangannya, ada perbenturan antara tradisi yang terus dipertahankan dengan budaya yang makin berkembang. "Termasuk tradisi memakai peci putih dan budaya Arab yang berakulturasi dengan budaya Betawi di mana peci putih menjadi simbol identifikasi agama Islam,\" tutur lelaki kelahiran Jember, 1967 itu.

Ben berharap, buku keduanya ini juga laris seperti buku pertamanya. Harapan ini juga dilambungkan Fahmi, dari penerbit Ufuk Publishing House yang menerbitkan dua buku itu. \"Mudah-mudahan Rosyid & Delia jadi best seiler lagi seperti Da Peci Code\" katanya.

Bahkan, Fahmi juga sudah bersiap-siap mengadaptasi Da Peci Code ke layar lebar. \"Beberapa production house sudah menawar, tapi belum ada yang cocok,\" kata Fahmi.

Bila novel ini siap difilmkan, Ben berharap dirinya dilibatkan . dalam produksi film ini, termasuk bila diperlukan dalam penulisan skenarionya."Ini supaya cerita di film nggak melenceng dari novelnya." kata Ben yang belajar menulis secara otodidak.


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: