Siti Muyassarotul Hafidzoh*, Kompas.com, 6 September 2009
"Hidup yang tak dipertaruhkan, hidup yang tak dimenangkan." Ungkapan Bung Syahrir ini sangat tepat untuk membaca hikayat orang Indonesia yang bertaruh di negeri perantauan: Belanda. Selama tiga setengah abad Belanda di Indonesia, selama itu pula tersingkap kisah inspiratif kaum pribumi yang mempertaruhkan diri di negeri penjajah. Kisah yang akan menggambarkan hubungan Belanda dan Indonesia, penjajah dan yang dijajah, hegemoni dan koloni, strategi dan siasat intimidasi, serta pengharapan akan sebuah kebebasan di tengah penindasan. Pertaruhan benar-benar menjadi sebuah narasi besar yang sedang dijalankan di tengah kegalauan dan kerisauan.
Sejarawan-Indonesianis, Harry A. Poeze, mencoba menjawab sebuah kisah pengharapan kaum pribumi yang bertaruh di Belanda selama tiga setengah abad (1600-1950). Pengharapan yang terkisah dalam buku ini memang sangat dipertaruhkan, karena menurut Francious Goude (2007), orang pribumi oleh Belanda distigma sebagai "monyet". Sebuah simbol bangsa yang tak berperadaban, jauh dari riuh modernitas, dan mudah dipecundangi. Simbolisasi ini coba digugat kaum pribumi dengan bertaruh secara sungguh di negeri penjajah sendiri.
Mengapa justru di negeri Belanda? Karena dengan menjelajah Belanda, kaum pribumi bisa mengetahui secara detail karakter kebudayaan dan corak peradaban negeri Belanda. Selain bisa belajar untuk mengembangkan kapasitas, bisa juga digunakan sebagai basis gerakan dalam membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonialisasi Belanda. Inilah yang dijelajah Poeze dengan memikat dalam bukunya ini.
Poeze mengisahkan bahwa pada awal abad ke-17, untuk pertama kalinya Sultan Aceh mengirimkan tiga duta besar, yakni Abdul Zamat, Laksamana Raja Seri Muhammad, dan kemenakannya Meras San, yang kalau ditulis sekarang menjadi Abdul Hamid, Sri Muhammad, dan Mir Hasan. Mereka menumpang kapal Zelaandia dan Langhe Barche diiringi lima orang pembantu dan seorang juru bahasa, juga sejumlah pedagang Arab (hal. 3).
Perutusan Sultan Aceh tersebut tiba di Aceh pada Juli 1602. Dari ketiganya, Sultan Aceh bisa mengetahui perkembangan peradaban Barat, pola pergaulan masyarakat Eropa, dan bagaimana Sultan Maurits menyembut perutusan tersebut. Perutusan juga berkunjung di berbagai kota pusat peradaban Belanda. Dari gambaran itulah, Sultan Aceh bisa mengetahui cara berdiplomasi dan bekerjasama dengan Belanda, agar tidak tertipu dan terperdaya, walaupun dalam beberapa hal, Belanda masih mencederai kerjasama dengan Sultan.
Kisah perutusan Aceh mengilhami sebuah inspirasi untuk bertaruh di negeri Belanda. Menyusul kemudian para pemuda Ambon yang diajak oleh De Houtman, yang ketika pulang mereka dijadikan pengajar sekolah rakyat. Dari pemuda Ambon ini terkisah sebuah harapan bahwa pergi ke negeri Belanda bisa membuka jendela pengetahuan yang lebih baik. Inilah yang kemudian dijalakan Raden Saleh. Tahun 1829 Raden Saleh ikut berlayar ke negeri Belanda sebagai Klerek Inspektur Keuangan De Linge. Selain belajar melukis yang memang menjadi bakatnya, Raden Saleh juga belajar ihwal pendidikan, pengajaran, juga nasionalisme dan kedaulatan sebuah bangsa. Lukisan-lukisan Raden Saleh terlihat sekali bahwa dia ingin menentukan sendiri siapa dan apa yang dilukisnya. Kebebasan dan kedaulatan diri dalam berkarya sangat dipegang teguh olehnya. Poeze mencatat Raden saleh sebagai pelopor para mahasiswa Indonesia yang sejak akhir abad ke-19 bertaruh ke negeri Belanda.
Pada tahun 1835, Raden Ngabehi Poespa menyusul. Kemudian disusul Mas Ismangoen Danoe Winoto (orang pertama kali yang menikmati pendidikan tinggi di Belanda), Raden Montajib Moeda (orang yang menuliskan kisah perjalanan pertama tentang negeri Belanda), dan Sasrokartono (ahli bahasa yang sangat mahir). Tibalah kemudian sosok dokter yang juga wartawan, Abdul Rivai. Dialah orang Indonesia pertama yang dapat menyebut dirinya "doktor", walaupun gelar yang diperoleh tanpa menulis disertasi (hal. 56). Rivai datang ke Belanda pad tahun 1899, tahun penghujung abad ke-19, dimana Belanda sedang memutus kebijakan politik etisnya.
Sosok Abdul Rivai menjadi istimewa bagi para pelajar Indonesia, karena Rivai selain diakui sebagai dokter yang cerdas dan tangkas, juga dikenal sebagai wartawan yang piawai dalam menulis berbagai persoalan nasionalisme, kebangsaan, dan kenegaraan. Karya dari buah tangannya tayang diberbagai majalah dan newsletter, baik di Melayu dan Belanda sendiri. Jiwa kewartawanan menjadikan Rivai selalu hadir dengan ide-ide kreatif yang bisa mengilhami lahirnya sebuah pergerakan kebangsaan bagi kaum pribumi. Apalagi tulisannya dikenal sangat kritis terhadap kaum kolonial Belanda, sehingga dia dicurigai, bahkan akhirnya dibenci Belanda yang gerak-gerik politiknya mendapatkan pengawasan ketat.
Pada tahun 1908, Rivai dengan teman-teman pelajarnya kaum pribumi mendirikan perkumpulan yang bernama "Perhimpunan Kaum Muda" yang kemudian dikenal dengan Perhimpunan Hindia. Salah satu tugas terpenting dalam perhimpunan, menurut Rivai, adalah memajukan pengajaran dengan jalan melancarkan desakan kepada pemerintah, menerbitkan buku-buku sekolah, dan membentuk dana-dana pendidikan (juga untuk belajar ke Eropa). Dari sinilah, datang berduyun-duyun pelajar Indonesia yang belajar di Belanda. Ada Noto Soeroto (sastrawan), Bung Hatta, Bung Syahrir, Ki Hadjar Dewantara, Tjipti Mangoenkoesoemo, termasuk juga Tan Malaka yang banyak menulis cacatan gugatan selama di negeri Belanda.
Semakin hari, jumlah pelajar dan cendekiawan yang lahir dari negeri Belanda semakin besar. Mereka yang masih di Belanda, pengharapan akan kebebasan mereka tuangkand an mereka perjuangkan di Belanda. Semakin hebat, karena sekembalinya di Indonesia, mereka juga membentuk persekutuan untuk membebaskan tanah airnya. Padahal, hal tersebut snagat tidak dikehendaki oleh Belanda. Pada awalnya, Belanda ingin tetap menjadi "monyet" yang bisa dibohongi yang dipekerjakan dengan seenaknya. Tetapi pencerahan yang mereka dapatkan justru menjadi cambuk bagi Belanda.
Gerakan pengharapan akhirnya tiba dalam susana kebebasan. Gerak-gerik kaum terpelajar sangat berpengaruh atas kebebasan Indonesia dan juga atas terbentuknya Indonesia masa kini. Disinilah, buku menjadi penting untuk membaca secara kritis gerak Indonesia masa depan.
* Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) Fak Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .
"Hidup yang tak dipertaruhkan, hidup yang tak dimenangkan." Ungkapan Bung Syahrir ini sangat tepat untuk membaca hikayat orang Indonesia yang bertaruh di negeri perantauan: Belanda. Selama tiga setengah abad Belanda di Indonesia, selama itu pula tersingkap kisah inspiratif kaum pribumi yang mempertaruhkan diri di negeri penjajah. Kisah yang akan menggambarkan hubungan Belanda dan Indonesia, penjajah dan yang dijajah, hegemoni dan koloni, strategi dan siasat intimidasi, serta pengharapan akan sebuah kebebasan di tengah penindasan. Pertaruhan benar-benar menjadi sebuah narasi besar yang sedang dijalankan di tengah kegalauan dan kerisauan.
Sejarawan-Indonesianis, Harry A. Poeze, mencoba menjawab sebuah kisah pengharapan kaum pribumi yang bertaruh di Belanda selama tiga setengah abad (1600-1950). Pengharapan yang terkisah dalam buku ini memang sangat dipertaruhkan, karena menurut Francious Goude (2007), orang pribumi oleh Belanda distigma sebagai "monyet". Sebuah simbol bangsa yang tak berperadaban, jauh dari riuh modernitas, dan mudah dipecundangi. Simbolisasi ini coba digugat kaum pribumi dengan bertaruh secara sungguh di negeri penjajah sendiri.
Mengapa justru di negeri Belanda? Karena dengan menjelajah Belanda, kaum pribumi bisa mengetahui secara detail karakter kebudayaan dan corak peradaban negeri Belanda. Selain bisa belajar untuk mengembangkan kapasitas, bisa juga digunakan sebagai basis gerakan dalam membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonialisasi Belanda. Inilah yang dijelajah Poeze dengan memikat dalam bukunya ini.
Poeze mengisahkan bahwa pada awal abad ke-17, untuk pertama kalinya Sultan Aceh mengirimkan tiga duta besar, yakni Abdul Zamat, Laksamana Raja Seri Muhammad, dan kemenakannya Meras San, yang kalau ditulis sekarang menjadi Abdul Hamid, Sri Muhammad, dan Mir Hasan. Mereka menumpang kapal Zelaandia dan Langhe Barche diiringi lima orang pembantu dan seorang juru bahasa, juga sejumlah pedagang Arab (hal. 3).
Perutusan Sultan Aceh tersebut tiba di Aceh pada Juli 1602. Dari ketiganya, Sultan Aceh bisa mengetahui perkembangan peradaban Barat, pola pergaulan masyarakat Eropa, dan bagaimana Sultan Maurits menyembut perutusan tersebut. Perutusan juga berkunjung di berbagai kota pusat peradaban Belanda. Dari gambaran itulah, Sultan Aceh bisa mengetahui cara berdiplomasi dan bekerjasama dengan Belanda, agar tidak tertipu dan terperdaya, walaupun dalam beberapa hal, Belanda masih mencederai kerjasama dengan Sultan.
Kisah perutusan Aceh mengilhami sebuah inspirasi untuk bertaruh di negeri Belanda. Menyusul kemudian para pemuda Ambon yang diajak oleh De Houtman, yang ketika pulang mereka dijadikan pengajar sekolah rakyat. Dari pemuda Ambon ini terkisah sebuah harapan bahwa pergi ke negeri Belanda bisa membuka jendela pengetahuan yang lebih baik. Inilah yang kemudian dijalakan Raden Saleh. Tahun 1829 Raden Saleh ikut berlayar ke negeri Belanda sebagai Klerek Inspektur Keuangan De Linge. Selain belajar melukis yang memang menjadi bakatnya, Raden Saleh juga belajar ihwal pendidikan, pengajaran, juga nasionalisme dan kedaulatan sebuah bangsa. Lukisan-lukisan Raden Saleh terlihat sekali bahwa dia ingin menentukan sendiri siapa dan apa yang dilukisnya. Kebebasan dan kedaulatan diri dalam berkarya sangat dipegang teguh olehnya. Poeze mencatat Raden saleh sebagai pelopor para mahasiswa Indonesia yang sejak akhir abad ke-19 bertaruh ke negeri Belanda.
Pada tahun 1835, Raden Ngabehi Poespa menyusul. Kemudian disusul Mas Ismangoen Danoe Winoto (orang pertama kali yang menikmati pendidikan tinggi di Belanda), Raden Montajib Moeda (orang yang menuliskan kisah perjalanan pertama tentang negeri Belanda), dan Sasrokartono (ahli bahasa yang sangat mahir). Tibalah kemudian sosok dokter yang juga wartawan, Abdul Rivai. Dialah orang Indonesia pertama yang dapat menyebut dirinya "doktor", walaupun gelar yang diperoleh tanpa menulis disertasi (hal. 56). Rivai datang ke Belanda pad tahun 1899, tahun penghujung abad ke-19, dimana Belanda sedang memutus kebijakan politik etisnya.
Sosok Abdul Rivai menjadi istimewa bagi para pelajar Indonesia, karena Rivai selain diakui sebagai dokter yang cerdas dan tangkas, juga dikenal sebagai wartawan yang piawai dalam menulis berbagai persoalan nasionalisme, kebangsaan, dan kenegaraan. Karya dari buah tangannya tayang diberbagai majalah dan newsletter, baik di Melayu dan Belanda sendiri. Jiwa kewartawanan menjadikan Rivai selalu hadir dengan ide-ide kreatif yang bisa mengilhami lahirnya sebuah pergerakan kebangsaan bagi kaum pribumi. Apalagi tulisannya dikenal sangat kritis terhadap kaum kolonial Belanda, sehingga dia dicurigai, bahkan akhirnya dibenci Belanda yang gerak-gerik politiknya mendapatkan pengawasan ketat.
Pada tahun 1908, Rivai dengan teman-teman pelajarnya kaum pribumi mendirikan perkumpulan yang bernama "Perhimpunan Kaum Muda" yang kemudian dikenal dengan Perhimpunan Hindia. Salah satu tugas terpenting dalam perhimpunan, menurut Rivai, adalah memajukan pengajaran dengan jalan melancarkan desakan kepada pemerintah, menerbitkan buku-buku sekolah, dan membentuk dana-dana pendidikan (juga untuk belajar ke Eropa). Dari sinilah, datang berduyun-duyun pelajar Indonesia yang belajar di Belanda. Ada Noto Soeroto (sastrawan), Bung Hatta, Bung Syahrir, Ki Hadjar Dewantara, Tjipti Mangoenkoesoemo, termasuk juga Tan Malaka yang banyak menulis cacatan gugatan selama di negeri Belanda.
Semakin hari, jumlah pelajar dan cendekiawan yang lahir dari negeri Belanda semakin besar. Mereka yang masih di Belanda, pengharapan akan kebebasan mereka tuangkand an mereka perjuangkan di Belanda. Semakin hebat, karena sekembalinya di Indonesia, mereka juga membentuk persekutuan untuk membebaskan tanah airnya. Padahal, hal tersebut snagat tidak dikehendaki oleh Belanda. Pada awalnya, Belanda ingin tetap menjadi "monyet" yang bisa dibohongi yang dipekerjakan dengan seenaknya. Tetapi pencerahan yang mereka dapatkan justru menjadi cambuk bagi Belanda.
Gerakan pengharapan akhirnya tiba dalam susana kebebasan. Gerak-gerik kaum terpelajar sangat berpengaruh atas kebebasan Indonesia dan juga atas terbentuknya Indonesia masa kini. Disinilah, buku menjadi penting untuk membaca secara kritis gerak Indonesia masa depan.
* Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) Fak Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar