Selasa, 28 April 2009

[resensi buku] Sepenggal Kisah tentang Sebuah Teori

Surabaya Post | Minggu, 26 April 2009 | Oleh N. Mursidi*

SETIAP anak (laki-laki), di mata Sigmund Freud, memiliki kecenderungan kuat untuk tertarik secara seksual terhadap ibu kandungnya. Ketertarikan itu, anehnya, tidak berhenti sampai di situ. Dalam lubuk hatinya, bahkan ia memendam rasa cemburu terhadap sang ayah. Tak salah jika percikan rasa cemburu itu membuat sang anak ingin membunuh ayahnya agar ia bisa meniduri ibunya.

Dalam teori Freud, kecenderungan seksual itu dikenal dengan istilah Oedipus Complex. Freud juga melihat setiap anak lelaki memiliki kecenderungan sindrum Oedipus Complex, tapi lantaran norma di masyarakat kuat menghalangi, maka keinginan itu tercekat sekadar jadi hasrat (dalam pikiran).

Teori Freud itu rupanya memikat Haruki Murakami--pengarang kenamaan asal Jepang--untuk kemudian mengeksplorasinya lebih jauh dalam bentuk novel yang diberi judul Kafka on the Shore. Jadi, novel Haruki ini tak bisa ditepis merupakan sepenggal kisah tentang sebuah teori.

KAFKA on the Shore menuturkan kisah pengembaraan anak lelaki berusia 15 tahun yang minggat dari rumah. Ia memilih minggat lantaran dikutuk ayahnya setelah sang ayah ditikam dendam pada ibu serta kakaknya yang meninggalkannya saat anak itu berusia 4 tahun. Tak mau ramalan itu jadi kenyataan, tepat di hari ulang tahunnya yang kelima belas, anak lelaki itu minggat dari rumah, melanglang buana ke Takamatsu untuk menemui takdir lain. Untuk menghapus jejaknya, ia lalu mengaku bernama Kafka Tamura.

Di kota itu, Kafka menginap di hotel dan mengisi \"waktu luang\" dengan mengunjungi perpustakaan Komura. Setelah jauh dari rumah, dia yakin bisa lepas dari \"kutukan\". Tetapi suatu hari, ia menjumpai peristiwa aneh. Sepulang dari perpustakaan ia tiba-tiba hilang ingatan. Saat sadar, ia sudah di semak-semak dan tangannya berlumuran darah.

Uniknya, ketika Kafka hilang ingatan itu, ternyata di tempat lain (di Nakano, Tokyo), Nakata (seorang kakek tua yang dikenal bodoh, menjalani hidup dari subsidi kota tetapi bisa berbicara dengan kucing) seperti \"menggantikan\" kutukan Kafka. Nakata tak bisa mengelak, dan terpaksa membunuh Johnnie Walker --lantaran punya kebiasaan sadis membunuh kucing. Anehnya Walker tidak pernah hidup di dunia. Maka, saat Nakata lapor ke pos polisi, Nakata justru dianggap sebagai orang aneh.

Tapi lebih aneh, dua hari kemudian, Toici Tamura (pematung terkenal) yang tak lain adalah ayah Kafka justru ditemukan mati tertusuk sebilah pisau. Polisi lantas mencari Kafka dan Nakata. Kejadian itu membuat Kafka dan Nakata terseret misteri. Tanpa disadari, Nakata menumpang truk Hoshino ke Takamatsu. Kafka pun terpaksa meninggalkan hotel dan berpindah-pindah tempat, hingga dia bisa tinggal di perpustakaan, setelah Oshima (penjaga perpustakaan) dan Nona Saeki (kepala perpustakaan) mengangkatnya jadi pegawai perpustakaan.

Jalinan cerita kian \"absurd\" setelah Kafka kenal dekat Nona Saeki. Di matanya, Nona Saeki dibebani kenangan masa lalu setelah ia ditinggal mati oleh kekasihnya. Dia pun sempat hilang selama 25 tahun, lalu kembali ke Takamatsu. Dari cerita itu, Kafka menduga Nona Saeki pernah dinikahi ayahnya. Dan ketika Kafka berusia empat tahun, wanita itu kemudian pergi meninggalkannya.

Tapi, semua itu tak menghalanginya untuk jatuh cinta pada Nona Saeki. Apalagi setelah ia kerap didatangi sosok gadis 15 tahun yang mirip Nona Saeki ke dalam kamarnya, sekadar memandangi \"lukisan Kafka on the Shore\" dan lantas bercinta dengannya. Anehnya, di dunia nyata, Nona Saeki tak menolak cintanya. Keduanya pun bahkan bersetubuh. Selain meniduri ibunya, dia ternyata tak bisa membendung hasrat menyenggamai Sakura, yang tak lain kakak perempuannya meski persetubuhan itu lewat mimpi.

Rupanya, kutukan ayahnya jadi kenyataan. Kafka membunuh ayahnya, lalu meniduri ibunya dan kakak perempuannya. Tapi, rahasia Nona Saeki tetap sebuah misteri. Karena satu-satunya bukti yang meruntuhkan teorinya (berupa dokumen riwayat hidup Nona Saeki) telah dibakar Nakata atas permintaan Nona Saeki. Setelah Nona Saeki meninggal, wanita itu menjadi kenangan bagi Kafka. Kafka tak bisa melupakannya dan tak pernah mendapatkan teori tandingan karena teori tandingan itu telah hangus menjadi abu dan terbang ke langit tepat saat Nona Saeki meninggal akibat serangan jantung.

Kafka mendapat warisan dari Nona Saeki lukisan \"Kafka di Tepi Pantai\"--yang akan selalu dipandanginya jika ia merindukan Nona Saeki.

KISAH novel Kafka on the Shore ini tak dipungkiri serupa kisah dalam kebudayaan Yunoni Kuno, Oedipus Sang Raja (karya Sophocles). Dalam kisah yang ditulis dramawan besar itu, Oedipus diramal kelak akan membunuh ayahnya. Maka sang ayah (Raja Louis) membuang Oedipus. Tapi, takdir berbicara lain. Oedipus tak mati. Kutukan itu, menjadi kenyataan. Oedipus membunuh ayahnya --tanpa ia ketahui. Tragisnya, Oedipus lantas menjadi raja dan menikahi Jocasta. Setelah melahirkan 4 anak, Jocasta baru tahu bahwa Oedipus \"anak kandungnya\". Jocasta bunuh diri. Oedipus menusuk kedua matanya lalu meninggalkan kerajaan.

Cerita Oedipus itulah yang kemudian dikembangkan oleh Haruki Murakami dengan memaklumatkan teori yang digemakan Sigmund Freud. Tapi, Murakami tidak mentah-mentah mengadopsi kisah Oedipus. Ia bahkan meraciknya lebih jauh, juga mendalam. Haruki tak menyuguhi terang benderang kisah Oedipus dan teori Freud itu. Pengarang yang telah mendapat banyak pernghargaan ini lalu memilih jalan berliku, penuh misteri serupa labirin.

Sampai Haruki mengakhiri cerita novel ini, dugaan Kafka mengenai Nona Saeki yang dikira ibunya masih menyimpan teka-teki. Tak pelak, hipotesa Kafka itu merupakan sebuah teori. Sebagaimana diungkapkan Haruki ketika Kafka \"meminta jawaban\" Nona Saeki, ternyata Nona Saeki menjawab, \"Tidak ada diriku yang perlu kau ketahui.\" Haruki menegaskan, dugaan Kafka bahwa Nona Saeki adalah ibunya tidak lebih \"sebuah hipotesa atau teori\". Karena merupakan teori, hipotesa itu masih tetap berlaku selama belum ada bukti (teori) tandingan.

HARUS diakui karya ini adalah novel yang sulit dipahami. Murakami tak menulis secara realis tapi memilih surealis. Pembaca disuguhi absurditas yang sulit \"diterima akal\", karena Murakami melumuri cerita dengan teka-teki, dan misteri. Teka-teki itu disuguhkan Murakami lewat tokoh Nakata yang bodoh tak bisa membaca dan berhitung tapi dapat berbicara dengan kucing, batu dan mampu mendatangkan hujan. Kemunculan gadis berumur 15 tahun (sebagai bayangan Nona Saeki), tokoh Johnnie Walker, Kolonel Sarders, gagak yang tidak lain (bisikan hati) Kafka, dua tentara pasukan Napoleon pada 1812 dan Johnnie Walker.

Selain itu, Murakami kerap berkisah dengan latar di luar batas dunia. Bahkan, pengarang menyelipkan pemikiran tentang kenangan, pikiran dan ingatan yang diadopsi dari ide dan pemikiran filsafat. Sementara \"teknik cerita\" yang digelindingkan Murakami tidak kalah pelik. Berpilin, berliku, dan tak berpusat satu tokoh utama, melainkan dua tokoh (Kafka dan Nakata). Dari dua tokoh yang tidak ada titik temu di awal kisah itu, Murakami kemudian menjalin dalam satu bangunan cerita di akhir kisah yang ternyata menyisakan banyak pertanyaan.

Untungnya, meski Murakami menulis dengan gaya surealis,  tapi ia tetap bertutur dengan bahasa yang ringan. Dialog mengalir lancar, pendek, tidak menyusahkan. Jadi, novel ini pun masih bisa diikuti meski harus membaca dengan mengerutkan kening.***

*) N. Mursidi, cerpenis, tinggal di Ciputat, Tengerang.


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: