Jumat, 27 Februari 2009

[resensi buku] Tiananmen Menghancurkan Hubungan Saudara

Batam Pos, Minggu, 22 Februari 2009

Kisah ini adalah cerita tentang tokoh antagonis. Menjalani takdir hidup yang malang. Dituangkan dalam ungkapan yang tidak berkeluh kesah. Juga minim mengumbar kesedihan yang panjang tak berujung. Tapi berisikan perlawanan. Dan, karena itulah menjadikannya  menarik. Meskipun pula perlawanan atau perjuangan, selalu belum menghasilkan pencapaian. Memerlukan ujian yang terus menerus dan berujung pada tragedi mematahkan hubungan pertalian darah. Kisah itulah yang ditulis oleh dosen fiksi kelahiran Taipei dan menjadi warga Amerika, Terrance Cheng berjudul Anak-anak Langit.

Dosen fiksi di Lehman College-CUNY ini, menjadikan Beijing menjadi tempat hidup tokoh antagonisnya, "Aku" dengan kakaknya, Lu. Hidup di era Deng Xiaoping.  Hingga kehidupan di titik tragis pembantaiaan di lapangan merah, Tiananmen.

Namun, keduanya dipelihara oleh manusia yang mencicipi perjalanan kehidupan di zaman Mao Zedong, bertitik tolak dari Revolusi Kebudayaan. Sang kakek yang mengasuhnya, menjalani penghakiman sekaligus hukuman tanpa tahu berbuat dosa apa oleh rezim Mao. Kemudian terbungkam dan menjadikan hidup selanjutnya kematian dalam tubuhnya yang hidup.

Tapi, Si Aku menjalani kesehariannya dengan jiwa sangat hidup.Karena sang nenek selalu memiliki jiwa menyala-nyala. Baginya dua orang cucunya itu warisan berharga dari anak tercintanya yang juga tertembus penghakiman sang penguasa di era Mao Zedong.

Ironisnya, Lu sang kakak berobsesi mengabdi pada negara menjadi tentara rakyat, membawanya kemudian menjadi menarik pelatuk mengamburkan peluru pada ribuan mahasiswa. Meskipun ribuan suara ia dengar: "tentara rakyat harusnya melindungi rakyat!" Tapi, melakukan perintah baginya adalah bentuk pengabdian.

Sedangkan Si Aku, menjalani hidup berbeda. Meskipun kemiskinan membelit kehidupan, berkat kesediaannya dijodohkan dengan seorang gadis buruk rupa namun berayah kaya, ia mendapatkan kesempatan belajar ke negara moderen dalam impinannya, Amerika. Xiaon An, meskipun buruk rupa, adalah gadis pintar dan santun. Dan cukup membuat hubungan menjadi nyaman.

Namun, ketika Amerika ditapakinya, mengajarkan percintaan bebas lepas dan membuang kesakralan diri lewat kesenangan belaka. Gadis Amerika mengambilnya juga mencuri hatinya. Sekaligus menjadikan dirinya penghianat atas komitmen yang dirajutnya. Xiao An puntidak menarik lagi. Meskipun  Amerika hanya sesaat.Kisah percintaan serta hidup moderen hanya sekejap. Ia mesti kembali ke negara leluhur dengan ilmu yang dibawa ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Kecuali menjadikannya pecundang. Semua itu harga yang diperuntukkan baginya sebagai penghianat atas Xiao An.

Perjalanan selanjutnya adalah jatuh bangun dan perjuangan sang Aku. Juga sang kakak Lu kemudian mesti berhadap-hadapan dengan posisi digariskan negara sebagai pihak berlawanan dengan adiknya sendiri, Si Aku. Sekalipun mesti menarik pelatuk dan menerjangkan peluru. Pemerintahan Deng Xiao Ping menjadikan mereka dalam keadaan seperti itu.

Banyak peristiwa sejarah dalam kurun 65-an hingga 80-an akhir  yang menjadi puncaknya tragedi Tiananmen. Alhasil novel ini adalah cara bagi kita mengenal sejarah Cina, dengan cara menghibur. Karena melalui cerita digubah dengan kalimat menarik, sehingga membacanya adalah kenikmatan. Sejarah digambarkan dari sudut kekuasaan negara menitah kepada rakyat. Juga isme-isme yang berkembang hingga konflik Cina . Serta menafsirkan Rusia dan Amerika sebagai lawan. Semua gambaran tragis maupun bengis sekaligus prihatin itu disuguhkan secara menarik. ***

Peresensi : Lisya Anggraini


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: