Rabu, 29 Oktober 2008

[resensi buku] Para Penakluk dalam Skenario Tuhan

Koran Tempo, Edisi 27 Oktober 2008

Berbagai teka-teki peristiwa bersejarah berkerumuk dalam kepala seorang pendeta saleh, John Bar Penkaye, pada tahun 680-an, ketika mengerjakan ringkasan sejarah dunia di biaranya yang terpencil di tepi Sungai Tigris, di pegunungan yang kini disebut Turki Tenggara. "Bagaimana bisa orang-orang tanpa senjata, berkuda tanpa baju baja atau perisai, berhasil memenangkan pertempuran… dan meruntuhkan semangat kebanggaan diri orang-orang Persia?" tanya John seperti dikutip Hugh Kennedy dalam Pengantar buku yang aslinya berjudul The Great Arab Conquests, How the Spread of Islam Changed the World We Live In ini.

Bagi Kennedy, Guru Besar Fakultas Kajian Asia dan Afrika Universitas London, Inggris, penaklukan Bangsa Arab di Timur Tengah --terutama setelah Nabi Muhammad wafat (632) --menyimpan rahasia yang dapat diungkap dengan menggunakan fakta-fakta sejarah. Itulah sebabnya pengajar sejarah di Fakultas Sejarah Universitas St. Andrew, Skotlandia, ini tidak puas dengan jawaban John Bar yang melihat penaklukan Arab dari sisi agama.

Sang pendeta, misalnya, mengatakan bahwa sejarah penaklukan terjadi karena kehendak Tuhan. Tanpa campur tangan Tuhan, sukar dibayangkan bagaimana bisa orang-orang Arab mengambil alih dunia dalam periode yang sangat singkat; menaklukan Suriah, Palestina, Irak, Iran, Mesir, menggasak bangsa Armenia, menggulingkan Kekaisaran Persia, mempecundangi Byzantium, dan menghantam Kekaisaran Roma hingga bercerai-berai?

Jawaban John Bar itu agaknya "khas" jawaban pendeta. Sebagai orang saleh, dia punya kemampuan membaca isyarat-isyarat ilahiyah atas berbagai peristiwa dahsyat di medan pertempuran yang, bahkan, tidak mungkin bisa dilakukan para panglima perang sekalipun. Namun bagi penelaah sejarah seperti Kennedy, yang juga menulis buku The Prophet and the Age of the Calipathes (1988), Crusader Castles (1994) dan When Baghdad Ruled the Muslim World (2006), jawaban itu bukan jawaban yang dikehendaki bagi terbukanya kepentingan kajian sejarah.

Alasan dia, bagaimana menjelaskan revolusi luar biasa bersejarah yang terjadi lebih dari 13 abad lampau itu dalam kehidupan manusia? Hugh menekankan tesisnya: "revolusi luar biasa menyeluruh" yang terjadi justru setelah Nabi Muhammad wafat (632). Berdasar bukti-bukti sejarah, tulis Kennedy, bangsa Arab mampu mengeksploitasi berbagai sumber daya negeri-negeri yang telah mereka taklukkan; bagaimana mereka mempertahankan identitas diri dan budaya di antara masyarakat asing, dan pada saat yang sama menciptakan lingkungan yang mendorong orang-orang yang ditaklukan beralih memeluk Islam, bahkan di beberapa daerah mereka mengadopsi bahasa Arab sebagai bahasa ibu.

Saat Nabi Muhammad wafat, Islam tak lebih dari agama samawi baru yang dipeluk oleh beberapa suku berbahasa Arab yang tinggal di Arab, tepi Padang Pasir Suriah dan Irak. Islam dan Arab, bagai cahaya dan kehangatannya, merambah cepat di daerah-daerah taklukan yang sebelumnya tak mengenal dan Islam dan bahasa Arab.

Orang-orang Suriah, Irak, Iran, dan Mesir, misalnya, semula berbahasa Yunani, Persia, Aramanik, Koptik, dan Pahlavi. Saat Islam masuk ke negeri-negeri itu, bahkan kemudian merambah ke Spanyol, Portugal, Uzbekistan, Afganistan, dan Pakistan Selatan, dalam satu abad, bukan semata pemerintahannya dikendalikan oleh kaum elite muslim berbahasa Arab, para penduduknya pun beralih memeluk Islam dan berbahasa Arab. Penduduk Mesir kuno yang beragama Kristen dan Zoroaster, sekarang malah menjadi pusat budaya Islam dan Arab, juga Iran sebagai basis Islam militan.

Dari sekian banyak sumber yang dijadikan bahan kajian Kennedy, ada beberapa sumber utama (dalam bahasa Inggris), antara lain karya Muhammad Ibn Ishaq, Abu Ja'rir ath- Thabari, dan Ahmad ibn Yahya Al-Baladhuri, serta satu sumber yang tak bisa ditinggalkan bagi penelitian apa pun yang menyangkut Islam, yaitu Al-Qur'an. Sumber-sumber primer itulah yang sebenarnya dapat menjelaskan mengapa penaklukan yang tergolong "paling dahsyat sepanjang sejarah penaklukan" itu terjadi.

Alhasil, pernyataan pendeta John Bar dalam buku ini sesungguhnya bukanlah takdir di kalangan orang saleh yang tidak bisa dibuktikan oleh fakta-fakta sejarah. Pembuktian sejarah inilah sumbangan paling bermakna yang dilakukan Hugh Kennedy lewat buku ini. Di sini pula, untuk kesekian kalinya, terbukti bahwa manusia tidak mampu menghindari skenario rancangan Tuhan.

Skenario Tuhan itu antara lain dituangkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi puncak kesempurnaan kitab-kitab suci sebelumnya: Zabur, Taurat, dan Injil. Banyak ayat Qur'an yang diturunkan berkaitan dengan sejarah penaklukan dan peperangan, yang juga dikutip Kennedy dalam buku ini. Surat Ar-Rum, misalnya, menunjuk langsung pada kehancuran Kekaisaran Roma jauh sebelum ditaklukkan tentara Islam.

Bagitu pula surat Al-Anfal yang lebih jauh menerangkan harta rampasan perang dan memberi petunjuk-petunjuk dasar hukumnya. Seperti diriwayatkan Ibnu Abbas r.a. --keponakan Nabi Muhammad --surat itu diturunkan di Madinah pada saat Perang Badar Kubra (624), ketika pertama kali umat Islam meraih kemenangan gemilang melawan kaum kafir dan memperoleh banyak sekali harta rampasan perang.

Skenario Tuhan bukan hanya menyangkut penaklukan oleh para tentara Islam yang dijuluki jundullah (tentara Allah), tapi juga tentang kekalahan mereka ketika kocar-kacir dihantam pasukan kaum Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid dalam Perang Uhud (625). Dalam Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab mengungkapkan turunnya Surat Al 'Imran ayat 159 sebagai penghibur bagi Muhammad yang terpukul terpukul batinnya akibat kekalahan itu.

Sungguh tidak mudah bagi para penelaah sejarah, seperti Kennedy, menggali fakta-fakta atau bukti arkeologis, bahwa setelah kekalahan besar itu Tuhan justru "mengirimkan" panglima Perang Uhud, Khalid bin Walid --di samping 'Ikrimah bin Abi Jahl --masuk Islam. Muhammad memberinya gelar "Saifullah" (pedang Allah). Nama Khalid bin Walid melegenda dan terukir dengan gagah dalam banyak perang penaklukan yang oleh Kennedy berkali-kali disebut atas deretan nama panglima perang legendaris lain seperti Amr bin Ash, Abu Ubaidah, Yazid dan Mu'awiyyah bin Abu Sofyan, Tariq bin Ziyad, Musa bin Nusair, serta Sa'ad bin Abi Waqas.

Lewat kepahlawanan mereka, yang dikutip dari berbagai sumber primer, Kennedy sampai pada kesimpulan yang bagi non-Islam boleh jadi mengejutkan; "Islam milik Allah, bahasa Al-Quran bahasa Arab milik Allah." Dari sumber-sumber sejarah yang aslinya berbahasa Arab, buku ini juga menelusuri motif penaklukan yang sesungguhnya adalah ketaatan atas hukum-hukum Allah.

Analisis akhir buku ini, tulis Kennedy: "Keberhasilan penaklukan muslim merupakan hasil dari keadaan tidak stabil dan kemelaratan di seluruh dunia pasca-Romawi yang ke dalamnya mereka termasuk --para prajurit Badui yang keras serta percaya diri, dan inspirasi sekaligus kualitas terbuka agama baru, Islam." Sebuah tantangan terbuka bagi umat Islam: bagaimana menerjemahkan temuan ayat-ayat literer yang cemerlang itu?

EH Kartanegara, pekerja media


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: