Minggu, 19 Oktober 2008

[resensi buku] Ketika Hati Terbentur Budaya

Harian Kompas, September 2008

Hal apakah yang umum ada di benak orang Indonesia tentang Arab Saudi ? Selain negeri yang tandus dan panas, tentunya adalah pakaian orang di sana yang selalu mengenakan abaya (sejenis jubah panjang yang menutupi tubuh) dan perempuan yang mengenakan kerudung besar hingga menutupi separuh tubuhnya. Cara berpakaian seperti ini banyak ditiru oleh sebagian orang Indonesia, termasuk cara berpakaian laki-laki yang berjubah panjang hingga ke mata kaki.

Di Arab Saudi, pergaulan lawan jenis sangat terbatas, bahkan diberlakukan jam malam bagi muda-mudi untuk berada di wilayah umum, seperti mal, pasar, atau kafe. Namun, bagaimanakah kehidupan di balik layar muda-mudi negeri itu ? Apakah mereka selalu disiplin mengenakan abaya dan kerudung? Ataukah mereka masih tertunduk malu ketika menatap lawan jenis ?

Semua imaji itu akan hilang ketika kita membaca novel The Girls of Riyadh karya Rajaa Al Sanea. Novel itu diangkat dari kisah nyata kehidupan dan pengalaman cinta empat orang gadis dari kalangan atas di Arab Saudi. Di Riyadh-lah semua cerita ini berawal, dari bangku sekolah tingkat atas hingga mereka lulus menjadi sarjana.

Adalah Qamrah, Michelle, Shedim, dan Lumais yang sering berkumpul dan saling berbagi cerita di rumah Ummy Nuwair, seorang wanita yang ditinggalkan suaminya. Mereka saling berbagi cerita dan mendukung satu sama lain meski terkadang mereka berbeda pendapat. Dari kisah pertemanan sehari-hari seperti itu kisah novel ini terjalin.

Apa yang dilakukan oleh keempat gadis dalam novel ini mungkin biasa bagi kebanyakan orang, khususnya di Asia, apalagi Eropa atau Amerika. Akan tetapi, tidak demikian bagi Arab Saudi, negara yang mendasarkan ini pada ajaran Islam dan sangat membatasi pergaulan lawan jenis. Suatu negara di mana misalnya, seorang perempuan tidak boleh sendirian di ruang publik tanpa ada keluarga yang menemani ataupun bagi wanita mengendarai mobil sendiri.

Bukan hanya aturan negara yang membatasi kehidupan mereka, tetapi budaya juga kuat menekan kehidupan pribadi mereka hingga ke persoalan cinta. Pun bagaimana seseorang menjalani kisah percintaannya harus sesuai dengan tuntutan budaya. Inilah yang dialami oleh empat gadis, seperti dikisahkan oleh narator dalam novel yang judul aslinya Banat al-Riyadh.

Cerita diawali dengan prosesi pernikahan Qamrah yang baru beberapa minggu menjalani kuliah di bidang sejarah. Malangnya, perkawinan itu ternyata semu ! Rasyid menikahi Qamrah hanya sekadar memenuhi keinginan keluarganya yang tidak menyetujui hubungannya dengan Karen, gadis keturunan Jepang.

Kebahagiaan perkawinan menjadi sangat singkat bagi Qamrah. Yang tertinggal justru kebencian dan dendam kepada mantan suaminya tersebut karena suaminya menceraikannya justru setelah tahu Qamrah hamil.

Saat Qamrah sedang gundah, Shedim, tokoh wanita lain dalam novel ini, justru sedang dimabuk cinta oleh Walid. Cinta yang berbunga dari Shedim justru hancur setelah dia menyerahkan seluruh cintanya secara utuh kepada Walid. Shedim tidak pernah mengerti mengapa Walid yang sangat bergairah dengan persetubuhan mereka malam itu justru langsung membatalkan pertunangan setelahnya.

Sementara itu, Michelle menemukan lelaki hebat bernama Faishal yang berpikiran maju dan mampu menerobos sekat-sekat budaya masyarakat Arab. Namun, Michelle pun akhirnya kecewa setelah tahu keluarga Paishal tidak menyetujui hubungan mereka hanya karena dia keturunan Amerika dan bukan asli Arab. Michelle tidak pernah menduga Faishal yang berpikiran sangat maju tunduk pada keinginan keluarga agar menikahi gadis asli Arab.

Berbagai gugatan pada budaya dan lelaki mengalir dengan lancar dalam novel tersebut, seperti Michelle yang tidak dapat menerima nilai poligami yang akrab dalam masyarakat Arab. Atau sikap seorang istri yang bahkan rela melamar gadis untuk menjadi istri kedua suaminya. Bahkan, Michelle merasa negeri itu keliru dalam menerjemahkan peraturan untuk membedakan mana yang seharusnya diurus oleh negara (ranah publik) dan yang menjadi masalah pribadi (ranah privat).

Jika Qamrah menjadi korban budaya masyarakat lokal yang hanya menerima menantu keturunan Arab, Shedim membenci kemunafikan dan kelemahan laki-laki dalam masyarakatnya. Cinta kedua Shedim dengan Faraz yang telah terjalin selama empat tahun pun harus kandas hanya karena Sedhim bukanlah calon menantu yang tepat bagi keluarga Faraz.

Benang merah budaya masyarakat lokal yang sangat melukai pengalaman cinta ketiga gadis tersebut terungkap dalam novel setebal 406 halaman ini. Kutipan puisi dalam bait-bait yang tertuang dalam novel ini pun sarat dengan pemberontakan dengan nilai-nilai patriarki masyarakat Arab, seperti salah satu bait Nizar Qabany yang dikutip oleh Narator;

Kita masih hidup dalam logika kunci dan gembok

Melipat kaum perempuan dalam gumpalan kapas, Menguburnya dalam pasir, Memilikinya seperti benda,

Kehidupan terus berlanjut hingga akhirnya para gadis-gadis itu menjadi lebih kuat dan mandiri. Ketika Faishal dan Faraz menawarkan hubungan yang ganjil setelah kedua laki-laki itu menikah, dengan tegas Shedim dan Michelle menolaknya. Hal itu karena sama saja dengan membenarkan kepicikan laki-laki untuk mengabaikan istri mereka dengan alasan \"pilihan keluarga\".

Kisah dalam novel ini pada awalnya adalah surat elektronik (e-mail) dari penulis yang menceritakan tentang pengalaman hidup empat orang temannya yang dikirimkan ke berbagai mailing list di Arab Saudi setiap Jumat siang. Lambat laun kisah ini menjadi perbincangan umum di setiap Sabtu dan Minggu. Berbagai komentar pun muncul, baik yang ikut bersimpati terhadap kisah mereka maupun yang membenci surat-surat itu karena dianggap menyebarkan aib masyarakat. Bahkan, surat kabar lokal menuliskan gejala baru di masyarakat yang berkumpul pa da Sabtu siang di kafe untuk membicarakan surat elektronik dari gadis yang tidak pernah menyebutkan identitas aslinya itu.

Atas persetujuan keempat temannya, Rajaa Al Sanea menuangkan cerita itu dalam novel persis seperti kisah aslinya. Novel pertama kali dicetak tahun 2005 dengan judul asli Banat al-Riyadh oleh Saqi Books di Arab Saudi. Namun tidak lama setelah itu dilarang peredarannya oleh pihak kerajaan Arab Saudi karena menimbulkan kontroversi dan muncul berbagai tudingan miring terhadap novel tersebut meski sebenarnya novel ini membongkar kemunafikan masyarakatnya. Salah satu contoh adalah hubungan seks pramartial bagi pasangan yang baru bertunangan sebenarnya telah menjadi rahasia umum di negeri itu.

Novel ini telah menyentakkan kesadaran orang Novel ini telah menyentakkan kesadaran orang bahwa pergaulan antara lawan jenis di Arab Saudi tidaklah berbeda dengan muda-mudi di negara lain di mana tidak ada larangan atau batasan pergaulan antarjenis. Keberanian penulis novel untuk mengungkapkan hal-hal yang masih dianggap tabu oleh masyarakat Arab Saudi menjadikan keistimewaan novel ini.

Pengungkapan kekecewaan seorang gadis atas pengkhianatan yang dialaminya justru dianggap telah menodai citra gadis Arab Saudi. Pemberontakan akan nilai-nilai konservatif masyarakat terhadap cinta dan seks meresahkan banyak orang. Bahkan, pada 9 Oktober 2006, dua orang warga negara Arab Saudi mengajukan keberatan atas novel tersebut ke pengadilan tinggi di Riyadh. Novel ini dianggap telah menistakan gadis Riyadh dan diduga salah menginterpretasikan Al Quran. Akan tetapi, di pasar gelap novel ini terus digandrungi, bahkan menjadi best seller di Timur Tengah dan kini telah diterjemahkan lebih dari dua puluh lima negara.

* Ummi Kulsum


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: