Batam Pos, Minggu 20 Desember 2009
"Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah" Sebuah kalimat Pepatah yang kebak pesan dan makna. Massif dipakai sebagai wujud representasi, bahwa kasih cinta seorang ibu terhadap buah hatinya, tidak akan pernah lekang oleh batas ruang dan waktu. Sebagai seorang wanita, hidup serasa tak pernah sempurna jika belum memiliki buah hati. Menikmati indahnya hidup bersama sang buah hati, merupakan pencapaian puncak kebahagiaan serta kebanggaan tertinggi bagi seorang wanita.
Selain karunia paling istimewa dari Tuhan, buah hati menjadi justifikasi peneguh eksistensi seorang ibu. Sifat halus dan lembut serta kasih sayang seorang wanita, bisa diejawantahkan setelah ia menjadi seorang ibu sejati. Berseberangan dengan seorang ibu. Lanjutan Pepatah "Kasih anak sepanjang galah," menjadi fenomena noda hitam hiruk-pikuk dunia sekarang ini. Banyak anak ketika telah menemukan jati dirinya, atau tersandung masalah dengan keluarga, kasih sayang mereka terhadap orang tua hanyalah sebatas panjangnya galak, pendek dan mudah hilang.
Dalam novel "Kekuatan Cinta Seorang Ibu" karya Debra Gwaterney ini, Penulis menyuguhkan kisah nyata perjuangan tangguh seorang ibu untuk mendapatkan buah hatinya kembali. Kisah ini berawal ketika sang ibu, Gwaterney (penulis), memutuskan tali pernikahan dengan suaminya, Tom. Dua anaknya yang bernama Amanda dan Stephani, merasa kecewa atas realita ini. Rasa tidak tahan tetap berada di rumah yang karut marut, memaksa mereka memutuskan menghindar dari orang tua.
Amanda yang berwatak keras kepala, kerap menjadikan sang ibu sebagai objek pelampiasan amarah akibat dari brokenhome itu. Amanda menuduh ibunya sebagai biang keladi penyebab hilangnya keharmonisan rumah tangga. Semanjak itu Amanda dan Stephani tidak pernah mau lagi melihat muka ibunya, karena kecewa terhadap perceraian mereka berdua.
Sikap psikologis Amanda berubah 180 derajat setelah peristiwa itu, ia sering melukai diri sendiri sebagai pelampiasan rasa kesal dan kekecewaanya. Namun hal itu tidak juga menjadi jalan keluar, hanya semakin menambah kesedihan yang menyakitkan. Ia dan adiknya, Stephani, memutuskan kabur dari rumah yang seakan menjelma neraka itu. Mereka meletakan penyesalan hidup di jalanan bebas, sambil berharap memperoleh ketenangan bersama gelandangan kota San Fransisco.
Kehidupan jalanan yang bebas, keras dan penuh citra keburukan, menjadi setting tempat khas dimana novel ini diciptakan. Perbuatan jahat, mencuri, pakaian kumuh, kotor, berkerumul di bangunan-bangunan kosong bersama para gelandangan, mengemis di jalan-jalan untuk sekedar mendapatkan pengganjal perut, menjadi gambaran kisah yang mengajak pembaca untuk larut tenggelam seperti dalam sebuah kenyataan.
Kebebasan hidup di jalanan, membuat Amanda dan Stephani telah menjadi bagian dari semacam suku yang terdiri dari anak-anak berpakaian kumuh, serba hitam, bertindik dan bertato. Mereka sebenarnya tidak menduga kehidupannya akan berubah segila ini. Lebih tragis akibat bergaul dengan anak-anak jalanan, mereka hampir lalai tak mengenali siapa ibu yang melahirkannya. Gwarteney dengan sabar dan usaha mati-matian mencoba menyelamatkan buah hatinya dari malapetaka yang menimpa mereka.
Di sinilah kisah konflik intrik mulai terbangun, dengan lihai oleh penulis disajikan secara epik yang membuat kisah ini menjadi berbeda dari lainnya. Ketika sang ibu sudah menemukan jejak buah hati di jalanan kota San Fransisco, Gwaterney memohon mereka untuk kembali pulang hidup bersama. Amanda dan Stephani menolak dan kabur menghindar berpindah kota lain, Destrik, Tenderloin. Perjuangan Gwarteney untuk mendapatkan kembali kepercayaan hati anak-anaknya adalah ujian paling berat. Untuk mengembalikan loyalitas kedua anaknya tersebut, ia berjuang keras. Perjuangan tanpa lelah inilah yang banyak mengisi halaman demi halaman buku setebal kurang lebih 350 halaman ini.
Kisah yang menarik untuk terus disimak dari buku ini, bagaimana proses perjuagan Gwarteney dalam merebut kembali hati anak-anaknya yang menjadi korban akibat brokenhome. Hal yang tak pernah terduga, pembaca akan kaget ketika realitas kehidupan dalam novel, benar-benar merupakan realitas yang terjadi. Sebuah kisah yang hidup sendiri dalam dunia novel. Begitu gamblang dieksplor dan mampu membekas dalam alam pikir pembaca.
Selain keunggulan pengisahan yang runtut, menyentuh dan mampu membawa emosional pembaca, terdapat sesuatu yang mengganjal dalam novel ini. Penulis terlalu banyak menuliskan kata-kata (pemborosan kata) sehingga inti yang menjadi pesan dalam kisahnya menjadi hal yang sulit ditangkap. Pembaca terkesan mudah menutup kembali buku ketika membaca, karena alur dari kisah yang tidak mudah dipahami, atau terkesan ingin cepat berpindah halaman sebelum selesai keseluruhan per bagian.
Awal yang cocok untuk membaca novel ini, tepat dengan keadan santai dan rileks. Sebab untuk lebih memahami kisahnya membutuhkan suasana yang bening dan pikiran jernih. Tanpa itu, pembaca akan mengalami kesulitan menangkap pesan kekuatan cinta, kasih sayang yang dimanifestasikan oleh seorang ibu kepada anak-anaknya.
Novel ini tepat dibaca oleh kaum hawa sebagai ibu. Gwaterney talah membuktikan kata Pepatah dengan mewujudkan "kasih ibu sepanjang jalan" untuk mengembalikan harmonitas rumah tangganya, setelah sekian lama terjebak dalam kehancuran. Di dalamnya pembaca akan menemukan mutiara kisah cinta sang ibu terhadap anak-anaknya yang tak terbatas. Di sisi lain, dengan belajar dari kisah novel Gwaterney ini, emosionalitas pembaca akan diuji kembali, sudahkah pembaca menjadi seorang yang menaruh cinta pada anak-anaknya.***
Peresensi
* F Hasan, Pecinta buku, tinggal di Yogyakarta
Judul Buku: Kekuatan Cinta Seorang Ibu
Penulis: Debra Gwaterney
Penerjemah: Rahmawati Astuti
Penerbit: Mahda Books
Cetakan: I, 2009
Tebal: xxii 351 Halaman