PEMBACA mungkin suntuk dan bakal menyesatkan diri dalam
kerimbunan tanda dan keramaian imajinasi. Pembaca masuk dalam nalar
cerita dengan negasi dan afirmasi untuk penciptaan
realitas-fiksionalitas dan permainan referensi tak henti. Cerita-cerita
terus memberikan tawaran dengan racun-racun magis dan bumbu
dekonstruksi untuk membuat pembaca tertegun atau kelelahan. Jalan kecil
selalu dijadikan dalil untuk istirahat dan menyelamatkan nalar cerita
sebelum ada tumpukan imajinasi jatuh menimpa kepala pembaca. Cerita
menjelma persemaian kata dan makna tanpa ada batas geografis, waktu,
etnis, agama, ideologi, politik, dan historis.
Kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi
menjadi bukti Triyanto Triwikromo sadar dengan kepemilikan otoritas
pengarang dalam laku menciptakan dan menabur benih-benih imajinasi.
Cerita terus merekah untuk melampaui wadah. Pembaca mungkin repot
menerapkan konstitusi fiksionalitas dalam menerima luberan makna dan
ekstase imajinasi. Pengarang lincah menempuh jagat tanda dengan
meninggalkan jejak-jejak samar. Pembaca bisa mengikuti dengan turut
atau menempuh arah beda tanpa jejak-jejak eksplisit untuk kembali
pulang. Risiko dari afirmasi cerita adalah kesadaran untuk menyesatkan
diri dalam ikhtiar menantang kematian fiksi.
Triyanto menjelma
menjadi penggembala cerita tanpa instruksi dan imperatif absolut.
Pengarang justru menyadari adanya ruang besar untuk cerita-cerita
melakoni perjalanan sendiri dengan peta-peta magis. Cerita mungkin lari
jauh tanpa lelah, sembunyi di gua gelap dan sepi, naik ke langit dengan
telanjang, berbaring di sela-sela tubuh kotor bumi, duduk sedih di atas
dahan rapuh, atau menelusup ke tubuh perempuan tua tanpa wajah. Pembaca
lalu menempuh piknik imajinasi dengan pintu terbuka dan mungkin enggan
mencari kunci untuk menutup pintu-pintu cerita.
Pembaca
disuguhi imaji iblis, setan, malaikat, jin, ular, dan makhluk-makhluk
dalam batas fakta-fiksi untuk konstruksi cerita. Kehadiran imaji dengan
ketegangan teologis justru membuat cerita dalam remang-remang kebenaran
dan kedustaan. Pengarang fasih melakukan karakterisasi tokoh tanpa
penundukkan imperialistik. Tokoh menghidupi diri ketika sadar ruang
dialektis dengan otonomi fiksionalitas. Pengarang tidak memberikan
konstitusi kaku dalam memberi kemungkinan kelahiran dan pertumbuhan
tokoh-tokoh dalam ruang cerita. Tokoh-tokoh hadir memberikan sapaan
kepada pembaca dengan pengenalan di ambang batas terang dan gelap.
Kelincahan
pengarang untuk mengantarkan cerita pada jalan tak karuan atau labirin
imajinasi menjadi bentuk tantangan kepada pembaca dalam memberi iman
dan amin. Cerita-cerita tidak melenggang di jalan lurus, tapi sesak
dengan pembayangan jalan-jalan tak ada ujung atau membentur tembok
angkuh. Pengarang membuka pintu dengan kalem agar pembaca rikuh
mengajukan tanya, lalu dibiarkan dalam pengelanaan mengejutkan dan
melelahkan. Cerita jadi ruang pertaruhan hidup dan mati untuk pembaca
di hadapan kuasa pengarang di balik tabir tanpa lembaran jawaban dan
hadiah.
Pengarang kentara memiliki sensibilitas kosmis untuk
menciptakan cerita dengan usia panjang. Sensibilitas kosmis hadir dalam
cerita melalui kelihaian pengarang dalam membuat percampuran
kontradiksi-kontradiksi. Epistemologi dikotomik justru dicairkan dengan
perangkat cerita dan olah imajinasi untuk mengganggu nalar pembaca
terhadap klaim fakta dan fiksi, keras dan lembut, hitam dan putih, baik
dan buruk, kotor dan bersih, atau sakral dan profan. Sensisibiltas
kosmis jadi lembaran pengarang melakukan afirmasi peran pembaca dan
penulis dalam khidmat dan keliaran.
***
Cerita-cerita dalam Ular di Mangkuk Nabi
merupakan album getir dan satir dari kesadaran manusia terhadap
berbagai fakta dan fiksi. Pengarang eksplisit mengantarkan pembaca pada
kemungkinan-kemungkinan gelap untuk mencari terang di sela-sela
kerimbunan tanda. Cerita-cerita magis membuat pengarang merasa
mendapati dusta-dusta imajinasi ketika alpa dengan kodrat fiksi.
Kesadaran terhadap dusta itu lekas disisipi dengan kelincahan pengarang
membuat tautan-tautan referensial. Pembaca lalu ragu untuk vonis
kedustaan atau kebenaran mengacu pada konvensi nalar cerita. Konstruksi
cerita sengaja jadi pembuktian kerja pengarang membuat nalar cerita
dalam daerah perbatasan agar pembaca sadar untuk hidup atau mati dalam
penghayatan dan penyayatan cerita.
Cerita Dalam Hujan Hijau Friedenau, misalnya,
adalah pengisahan getir tentang lakon cinta kudus tanpa jatuh dalam
nalar cerita sentimental dan keringkihan imajinasi. Pengarang justru
mengajukan kepelikan fiksi untuk pengungkapan hasrat dan kutukan dari
lakon cinta. Cerita ini tak ingin manja dengan sentuhan-sentuhan klise
kisah lelaki dan perempuan. Ramuan magis membuat lakon cinta masuk ke
jurang nalar untuk mengalami ekstase di ambang batas kehidupan dan
kematian.
Ketegangan memuncak dalam tuturan pelik untuk
membuka iman dan aib cinta lelaki dan perempuan. Resistansi atas
legitimasi cinta diungkapkan dengan nalar menantang ketika cinta masuk
pada model transaksi tubuh dan ruh: ''''Apakah kini kau menganggapku
sebagai iblis paling rapuh, sehingga perlu memberiku malaikat
pelindung? Apakah kau tidak lagi menganggapku memiliki kekudusan cinta,
sehingga perlu memberiku kisah percumbuan yang lain?'''' Kutipan itu jadi
representasi hasrat pengarang untuk menciptakan subversi-subversi atas
nalar cerita konvensional.
Subversi atas nalar cerita juga
muncul dengan menegangkan dalam fragmen-fragmen penyaliban. Subversi
justru melahirkan imajinasi dekonstruktif untuk meragukan kebenaran dan
kedustaan dalam fakta dan fiksi. Salib dan penyaliban seperti jadi
esktase imajinasi untuk meruntuhkan pembayangan pembaca terhadap
warisan-warisan nalar cerita lama. Pengarang tanpa sungkan mengisahkan
penyaliban dalam permainan tanda dengan mistis dan tragis. Penyaliban
menjadi tanda seru dan tanda tanya dalam menilai ulang lakon-lakon
manusia dari tarikan sejarah teologis sampai pada tragedi-tragedi
realistis di zaman fiksionalitas ini.
Fragmen-fragmen salib dan penyaliban ditaburkan dalam cerita Dalam Hujan Hijau Friedenau, Delirium Mangkuk Nabi, Sepasang Ular di Salib Ungu, Sirkus Api Natasja Korolenko, Matahari Musim Dingin, Lumpur Kuala Lumpur, dan Neraka Lumpur. Imajinasi
salib seperti jadi juru bicara untuk menantang nalar pembaca terhadap
konstruksi cerita. Pengarang dengan keramaian imajinasi salib justru
dengan eksplisit memberikan otoritas pembaca untuk menerima atau
menolak. Cerita-cerita itu justru membuat pembaca memiliki hak untuk
membaca sebagai salib, melakukan penyaliban terhadap cerita, atau
menyalibkan diri untuk pasrah dalam cerita. Salib mengalami persemaian
makna sebagai metafora mengandung tuah dan kuasa.
Nalar cerita subversif juga tampak dari pengolahan referensi sejarah Pangeran Diponegoro dalam cerita Sayap Kabut Sultan Ngamid dan biografi pendek Arthur Rimbaud dalam cerita Hantu di Kepala Arthur Rimbaud. Pengarang sengaja mencantumkan pijakan referensial dalam Babad Dipanegara, Asal-usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh (2004) garapan Peter Carey, dan Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX
(2006) garapan Bernard Dorleans. Subversi atas nalar sejarah digenapi
dengan subversi nalar cerita untuk menciptakan letupan-letupan
imajinasi dan ekstase fiksionalitas di hadapan rentetan fakta sejarah.
Nalar cerita dalam buku Ular di Mangkuk Nabi
juga kentara membuktikan ketekunan pengarang untuk resepsi kritis
terhadap sekian keriuhan referensi imajinasi dalam lukisan dan musik
klasik. Pembaca bisa mencatat atau melacak eksplisitas pengarang
menghadirkan referensi dalam cerita. Pengarang dengan inklusif
mengantarkan pembaca untuk mengingat dan mencari pembenaran dari
konstruksi cerita. Nalar cerita lalu dioperasionalkan untuk kerimbunan
tanda dan keramaian imajinasi dengan berbagai referensi dan olah
produksi atau reproduksi. Begitu. (*)
*) Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo
Judul Buku : Ular di Mangkuk Nabi
Penulis : Triyanto Triwikromo
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetak : I, Juni 2009
Tebal : xii + 168 halaman
kerimbunan tanda dan keramaian imajinasi. Pembaca masuk dalam nalar
cerita dengan negasi dan afirmasi untuk penciptaan
realitas-fiksionalitas dan permainan referensi tak henti. Cerita-cerita
terus memberikan tawaran dengan racun-racun magis dan bumbu
dekonstruksi untuk membuat pembaca tertegun atau kelelahan. Jalan kecil
selalu dijadikan dalil untuk istirahat dan menyelamatkan nalar cerita
sebelum ada tumpukan imajinasi jatuh menimpa kepala pembaca. Cerita
menjelma persemaian kata dan makna tanpa ada batas geografis, waktu,
etnis, agama, ideologi, politik, dan historis.
Kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi
menjadi bukti Triyanto Triwikromo sadar dengan kepemilikan otoritas
pengarang dalam laku menciptakan dan menabur benih-benih imajinasi.
Cerita terus merekah untuk melampaui wadah. Pembaca mungkin repot
menerapkan konstitusi fiksionalitas dalam menerima luberan makna dan
ekstase imajinasi. Pengarang lincah menempuh jagat tanda dengan
meninggalkan jejak-jejak samar. Pembaca bisa mengikuti dengan turut
atau menempuh arah beda tanpa jejak-jejak eksplisit untuk kembali
pulang. Risiko dari afirmasi cerita adalah kesadaran untuk menyesatkan
diri dalam ikhtiar menantang kematian fiksi.
Triyanto menjelma
menjadi penggembala cerita tanpa instruksi dan imperatif absolut.
Pengarang justru menyadari adanya ruang besar untuk cerita-cerita
melakoni perjalanan sendiri dengan peta-peta magis. Cerita mungkin lari
jauh tanpa lelah, sembunyi di gua gelap dan sepi, naik ke langit dengan
telanjang, berbaring di sela-sela tubuh kotor bumi, duduk sedih di atas
dahan rapuh, atau menelusup ke tubuh perempuan tua tanpa wajah. Pembaca
lalu menempuh piknik imajinasi dengan pintu terbuka dan mungkin enggan
mencari kunci untuk menutup pintu-pintu cerita.
Pembaca
disuguhi imaji iblis, setan, malaikat, jin, ular, dan makhluk-makhluk
dalam batas fakta-fiksi untuk konstruksi cerita. Kehadiran imaji dengan
ketegangan teologis justru membuat cerita dalam remang-remang kebenaran
dan kedustaan. Pengarang fasih melakukan karakterisasi tokoh tanpa
penundukkan imperialistik. Tokoh menghidupi diri ketika sadar ruang
dialektis dengan otonomi fiksionalitas. Pengarang tidak memberikan
konstitusi kaku dalam memberi kemungkinan kelahiran dan pertumbuhan
tokoh-tokoh dalam ruang cerita. Tokoh-tokoh hadir memberikan sapaan
kepada pembaca dengan pengenalan di ambang batas terang dan gelap.
Kelincahan
pengarang untuk mengantarkan cerita pada jalan tak karuan atau labirin
imajinasi menjadi bentuk tantangan kepada pembaca dalam memberi iman
dan amin. Cerita-cerita tidak melenggang di jalan lurus, tapi sesak
dengan pembayangan jalan-jalan tak ada ujung atau membentur tembok
angkuh. Pengarang membuka pintu dengan kalem agar pembaca rikuh
mengajukan tanya, lalu dibiarkan dalam pengelanaan mengejutkan dan
melelahkan. Cerita jadi ruang pertaruhan hidup dan mati untuk pembaca
di hadapan kuasa pengarang di balik tabir tanpa lembaran jawaban dan
hadiah.
Pengarang kentara memiliki sensibilitas kosmis untuk
menciptakan cerita dengan usia panjang. Sensibilitas kosmis hadir dalam
cerita melalui kelihaian pengarang dalam membuat percampuran
kontradiksi-kontradiksi. Epistemologi dikotomik justru dicairkan dengan
perangkat cerita dan olah imajinasi untuk mengganggu nalar pembaca
terhadap klaim fakta dan fiksi, keras dan lembut, hitam dan putih, baik
dan buruk, kotor dan bersih, atau sakral dan profan. Sensisibiltas
kosmis jadi lembaran pengarang melakukan afirmasi peran pembaca dan
penulis dalam khidmat dan keliaran.
***
Cerita-cerita dalam Ular di Mangkuk Nabi
merupakan album getir dan satir dari kesadaran manusia terhadap
berbagai fakta dan fiksi. Pengarang eksplisit mengantarkan pembaca pada
kemungkinan-kemungkinan gelap untuk mencari terang di sela-sela
kerimbunan tanda. Cerita-cerita magis membuat pengarang merasa
mendapati dusta-dusta imajinasi ketika alpa dengan kodrat fiksi.
Kesadaran terhadap dusta itu lekas disisipi dengan kelincahan pengarang
membuat tautan-tautan referensial. Pembaca lalu ragu untuk vonis
kedustaan atau kebenaran mengacu pada konvensi nalar cerita. Konstruksi
cerita sengaja jadi pembuktian kerja pengarang membuat nalar cerita
dalam daerah perbatasan agar pembaca sadar untuk hidup atau mati dalam
penghayatan dan penyayatan cerita.
Cerita Dalam Hujan Hijau Friedenau, misalnya,
adalah pengisahan getir tentang lakon cinta kudus tanpa jatuh dalam
nalar cerita sentimental dan keringkihan imajinasi. Pengarang justru
mengajukan kepelikan fiksi untuk pengungkapan hasrat dan kutukan dari
lakon cinta. Cerita ini tak ingin manja dengan sentuhan-sentuhan klise
kisah lelaki dan perempuan. Ramuan magis membuat lakon cinta masuk ke
jurang nalar untuk mengalami ekstase di ambang batas kehidupan dan
kematian.
Ketegangan memuncak dalam tuturan pelik untuk
membuka iman dan aib cinta lelaki dan perempuan. Resistansi atas
legitimasi cinta diungkapkan dengan nalar menantang ketika cinta masuk
pada model transaksi tubuh dan ruh: ''''Apakah kini kau menganggapku
sebagai iblis paling rapuh, sehingga perlu memberiku malaikat
pelindung? Apakah kau tidak lagi menganggapku memiliki kekudusan cinta,
sehingga perlu memberiku kisah percumbuan yang lain?'''' Kutipan itu jadi
representasi hasrat pengarang untuk menciptakan subversi-subversi atas
nalar cerita konvensional.
Subversi atas nalar cerita juga
muncul dengan menegangkan dalam fragmen-fragmen penyaliban. Subversi
justru melahirkan imajinasi dekonstruktif untuk meragukan kebenaran dan
kedustaan dalam fakta dan fiksi. Salib dan penyaliban seperti jadi
esktase imajinasi untuk meruntuhkan pembayangan pembaca terhadap
warisan-warisan nalar cerita lama. Pengarang tanpa sungkan mengisahkan
penyaliban dalam permainan tanda dengan mistis dan tragis. Penyaliban
menjadi tanda seru dan tanda tanya dalam menilai ulang lakon-lakon
manusia dari tarikan sejarah teologis sampai pada tragedi-tragedi
realistis di zaman fiksionalitas ini.
Fragmen-fragmen salib dan penyaliban ditaburkan dalam cerita Dalam Hujan Hijau Friedenau, Delirium Mangkuk Nabi, Sepasang Ular di Salib Ungu, Sirkus Api Natasja Korolenko, Matahari Musim Dingin, Lumpur Kuala Lumpur, dan Neraka Lumpur. Imajinasi
salib seperti jadi juru bicara untuk menantang nalar pembaca terhadap
konstruksi cerita. Pengarang dengan keramaian imajinasi salib justru
dengan eksplisit memberikan otoritas pembaca untuk menerima atau
menolak. Cerita-cerita itu justru membuat pembaca memiliki hak untuk
membaca sebagai salib, melakukan penyaliban terhadap cerita, atau
menyalibkan diri untuk pasrah dalam cerita. Salib mengalami persemaian
makna sebagai metafora mengandung tuah dan kuasa.
Nalar cerita subversif juga tampak dari pengolahan referensi sejarah Pangeran Diponegoro dalam cerita Sayap Kabut Sultan Ngamid dan biografi pendek Arthur Rimbaud dalam cerita Hantu di Kepala Arthur Rimbaud. Pengarang sengaja mencantumkan pijakan referensial dalam Babad Dipanegara, Asal-usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh (2004) garapan Peter Carey, dan Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX
(2006) garapan Bernard Dorleans. Subversi atas nalar sejarah digenapi
dengan subversi nalar cerita untuk menciptakan letupan-letupan
imajinasi dan ekstase fiksionalitas di hadapan rentetan fakta sejarah.
Nalar cerita dalam buku Ular di Mangkuk Nabi
juga kentara membuktikan ketekunan pengarang untuk resepsi kritis
terhadap sekian keriuhan referensi imajinasi dalam lukisan dan musik
klasik. Pembaca bisa mencatat atau melacak eksplisitas pengarang
menghadirkan referensi dalam cerita. Pengarang dengan inklusif
mengantarkan pembaca untuk mengingat dan mencari pembenaran dari
konstruksi cerita. Nalar cerita lalu dioperasionalkan untuk kerimbunan
tanda dan keramaian imajinasi dengan berbagai referensi dan olah
produksi atau reproduksi. Begitu. (*)
*) Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo
Judul Buku : Ular di Mangkuk Nabi
Penulis : Triyanto Triwikromo
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetak : I, Juni 2009
Tebal : xii + 168 halaman
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar