Sofia Rahmawati, Harian SOLOPOS, Minggu 22/3/2009
Membaca 23 bab awal dari 42 bab cerita dalam novel ini, pembaca diajak untuk belajar materi Propermas dalam kemasan naratif yang menarik. Latar belakang penulis yang pernah terjun langsung dalam dunia pemberdayaan masyarakat, mengenalkan sesuatu yang berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat tersebut kepada pembaca. Salah satunya adalah profesi fasilitator yang belum banyak dikenal orang. Tidak setenar dokter, guru, PNS dan sebagainya, tapi profesi ini juga merupakan salah satu bentuk sebuah pengabdian kepada masyarakat.
Dalam novel ini, diceritakan sosok Hening sebagai seorang fasilitator sebuah program pemberdayaan masyarakat. Riung, sebuah daerah di Flores yang terpencil namun rupawan, menjadi saksi bisu perjalanan hidup Hening dalam usahanya mencari sang ayah di antara pengabdian terhadap sebuah profesi dan mencari kebahagiaan yang diimpikannya.
Tantangan demi tantangan dihadapinya. Hari-hari Hening menjadi semakin berwarna. Bertemu orang-orang baru, kebudayaan baru, pressure dan dinamika kerja yang tinggi menjadi hiburan indah untuknya. Takdir hidup di Flores, membawanya bertemu dengan sosok-sosok yang berharga dalam hidupnya. Riung yang sepi, bukan berarti sepi di hati Hening. Apalagi setelah dia mengenal sosok Adrian, seorang duda agnostik beranak satu yang bisa menaklukkan kerasnya hati Hening.
Hening terjebak dalam kisah cinta yang meragukan bersama Adrian. Meskipun mereka saling mencintai, namun Adrian sudah mempunyai tunangan. Di satu sisi, Hening telah memiliki Fajar. Laki-laki yang telah sabar memahami dirinya selama 10 tahun. Jebakan cinta segitiga itu akhirnya terkuak. Ego dan idealisme Hening tentang cinta, membawanya kehilangan Adrian dan Fajar. Meskipun hati tercabik, Hening bisa melarutkan emosi dan menjalani profesinya di Riung dengan profesional.
Romansa cinta Hening dan pengabdiannya terhadap masyarakat Riung membawanya bertemu sang ayah yang dicarinya, meskipun hanya sekejap. Tabir kepergian ayahnya meninggalkan keluarga 24 tahun lalu juga telah terbuka. Beban yang selama ini menggayuti hati Hening telah sirna.
Kurang berliku
Enam tahun sudah berlalu, sosok Adrian telah menghilang lama dari hidupnya. Namun ternyata cinta di hati Hening kepada Adrian belum menghilang, namun Hening tidak mau berharap lebih. Hanya sebuah keyakinan bahwa cinta yang diharapkan itu benar-benar singgah kepadanya, meskipun bukan Adrian. Namun siapa sangka jika cinta itu akan kembali. Cinta memang misteri, dia akan datang pada waktunya.
Sebuah cerita yang luar biasa. Unsur indah dan bermanfaat untuk pembaca telah menjiwai isi dan teknik penulisannya. Gaya bahasanya lugas, meskipun pilihan kata untuk dialog banyak menggunakan bahasa lokal. Namun, tidak mengurangi keindahan cerita bahkan menjadi variasi yang manis. Pembaca tetap bisa memahami maknanya karena terbantu oleh catatan kaki yang ditampilkan.
Novel ini dibangun dari ide brilian dengan nuansa intelektual yang tinggi. Mungkin yang patut dikritisi hanyalah alur cerita yang kurang berliku dalam perjuangan menemukan sang ayah. Konflik yang menjadi tujuan awal cerita ini, terkesan datar dan tidak menjadi konflik utama bahkan hanya menjadi "figuran" cerita, karena sedikit sekali terulas. Namun kekurangan itu bisa ditutupi dengan deskripsi setting cerita yang bagus. Penjelasan mengenai program pemberdayaan masyarakat, sistem pembangunan bottom up dan teknis-teknisnya, terdeskripsikan dengan jelas. Hal ini menunjukkan jika sang penulis memahami betul materi yang menjadi latar belakang cerita.
Happy ending yang dipilih penulis untuk penyelesaian cerita, membuat unsur indah sebuah novel terpenuhi, yaitu menghibur. Sebab, sebagian besar pembaca menyukai sebuah akhir yang bahagia di banding sedih atau menggantung.
Melihat dari unsur manfaat, novel ini sangat edukatif. Penulis menyampaikan sebuah pendidikan tentang kesahajaan, cinta kasih, kemanusiaan, senasib sepenanggungan dan toleransi. Hal ini ditunjukkan ketika seorang Hening, gadis kota yang berjilbab, diterima baik oleh lingkungan Katolik taat dalam kondisi perekonomian yang kurang. Mereka bahkan sangat menghargai keberadaan Hening, dan tidak mempersoalkan perbedaan keyakinan yang dianut.
Setting tempat yaitu Flores, juga mengajarkan sebuah jendela baru bagi pembaca. Bahwa sebuah daerah yang jauh dari ibukota dan tidak seramai kota-kota di Jawa, tidak selalu menciptakan perasaan sepi dan asing bagi orang kota seperti Hening dan teman-temannya. Syaratnya adalah, manusia tersebut bisa membawa diri di manapun dia berada.
Perpaduan ide dan pengalaman penulis, membuat novel ini sangat layak dibaca. Kisah heroik para fasilitator dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di tengah isu-isu korupsi terhadap dana pembangunan, setidaknya bisa membuka wacana kita untuk percaya bahwa idealisme terhadap pembangunan itu masih ada. Bahkan lebih jauh, bisa menggugah hati kita untuk peduli terhadap kondisi saudara sebangsa dan se- Tanah air yang berada jauh di pelosok Indonesia. Meskipun terlihat sederhana, namun pesan ini menyimpan makna yang dalam jika kita renungkan dan lakukan.
Membaca 23 bab awal dari 42 bab cerita dalam novel ini, pembaca diajak untuk belajar materi Propermas dalam kemasan naratif yang menarik. Latar belakang penulis yang pernah terjun langsung dalam dunia pemberdayaan masyarakat, mengenalkan sesuatu yang berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat tersebut kepada pembaca. Salah satunya adalah profesi fasilitator yang belum banyak dikenal orang. Tidak setenar dokter, guru, PNS dan sebagainya, tapi profesi ini juga merupakan salah satu bentuk sebuah pengabdian kepada masyarakat.
Dalam novel ini, diceritakan sosok Hening sebagai seorang fasilitator sebuah program pemberdayaan masyarakat. Riung, sebuah daerah di Flores yang terpencil namun rupawan, menjadi saksi bisu perjalanan hidup Hening dalam usahanya mencari sang ayah di antara pengabdian terhadap sebuah profesi dan mencari kebahagiaan yang diimpikannya.
Tantangan demi tantangan dihadapinya. Hari-hari Hening menjadi semakin berwarna. Bertemu orang-orang baru, kebudayaan baru, pressure dan dinamika kerja yang tinggi menjadi hiburan indah untuknya. Takdir hidup di Flores, membawanya bertemu dengan sosok-sosok yang berharga dalam hidupnya. Riung yang sepi, bukan berarti sepi di hati Hening. Apalagi setelah dia mengenal sosok Adrian, seorang duda agnostik beranak satu yang bisa menaklukkan kerasnya hati Hening.
Hening terjebak dalam kisah cinta yang meragukan bersama Adrian. Meskipun mereka saling mencintai, namun Adrian sudah mempunyai tunangan. Di satu sisi, Hening telah memiliki Fajar. Laki-laki yang telah sabar memahami dirinya selama 10 tahun. Jebakan cinta segitiga itu akhirnya terkuak. Ego dan idealisme Hening tentang cinta, membawanya kehilangan Adrian dan Fajar. Meskipun hati tercabik, Hening bisa melarutkan emosi dan menjalani profesinya di Riung dengan profesional.
Romansa cinta Hening dan pengabdiannya terhadap masyarakat Riung membawanya bertemu sang ayah yang dicarinya, meskipun hanya sekejap. Tabir kepergian ayahnya meninggalkan keluarga 24 tahun lalu juga telah terbuka. Beban yang selama ini menggayuti hati Hening telah sirna.
Kurang berliku
Enam tahun sudah berlalu, sosok Adrian telah menghilang lama dari hidupnya. Namun ternyata cinta di hati Hening kepada Adrian belum menghilang, namun Hening tidak mau berharap lebih. Hanya sebuah keyakinan bahwa cinta yang diharapkan itu benar-benar singgah kepadanya, meskipun bukan Adrian. Namun siapa sangka jika cinta itu akan kembali. Cinta memang misteri, dia akan datang pada waktunya.
Sebuah cerita yang luar biasa. Unsur indah dan bermanfaat untuk pembaca telah menjiwai isi dan teknik penulisannya. Gaya bahasanya lugas, meskipun pilihan kata untuk dialog banyak menggunakan bahasa lokal. Namun, tidak mengurangi keindahan cerita bahkan menjadi variasi yang manis. Pembaca tetap bisa memahami maknanya karena terbantu oleh catatan kaki yang ditampilkan.
Novel ini dibangun dari ide brilian dengan nuansa intelektual yang tinggi. Mungkin yang patut dikritisi hanyalah alur cerita yang kurang berliku dalam perjuangan menemukan sang ayah. Konflik yang menjadi tujuan awal cerita ini, terkesan datar dan tidak menjadi konflik utama bahkan hanya menjadi "figuran" cerita, karena sedikit sekali terulas. Namun kekurangan itu bisa ditutupi dengan deskripsi setting cerita yang bagus. Penjelasan mengenai program pemberdayaan masyarakat, sistem pembangunan bottom up dan teknis-teknisnya, terdeskripsikan dengan jelas. Hal ini menunjukkan jika sang penulis memahami betul materi yang menjadi latar belakang cerita.
Happy ending yang dipilih penulis untuk penyelesaian cerita, membuat unsur indah sebuah novel terpenuhi, yaitu menghibur. Sebab, sebagian besar pembaca menyukai sebuah akhir yang bahagia di banding sedih atau menggantung.
Melihat dari unsur manfaat, novel ini sangat edukatif. Penulis menyampaikan sebuah pendidikan tentang kesahajaan, cinta kasih, kemanusiaan, senasib sepenanggungan dan toleransi. Hal ini ditunjukkan ketika seorang Hening, gadis kota yang berjilbab, diterima baik oleh lingkungan Katolik taat dalam kondisi perekonomian yang kurang. Mereka bahkan sangat menghargai keberadaan Hening, dan tidak mempersoalkan perbedaan keyakinan yang dianut.
Setting tempat yaitu Flores, juga mengajarkan sebuah jendela baru bagi pembaca. Bahwa sebuah daerah yang jauh dari ibukota dan tidak seramai kota-kota di Jawa, tidak selalu menciptakan perasaan sepi dan asing bagi orang kota seperti Hening dan teman-temannya. Syaratnya adalah, manusia tersebut bisa membawa diri di manapun dia berada.
Perpaduan ide dan pengalaman penulis, membuat novel ini sangat layak dibaca. Kisah heroik para fasilitator dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di tengah isu-isu korupsi terhadap dana pembangunan, setidaknya bisa membuka wacana kita untuk percaya bahwa idealisme terhadap pembangunan itu masih ada. Bahkan lebih jauh, bisa menggugah hati kita untuk peduli terhadap kondisi saudara sebangsa dan se- Tanah air yang berada jauh di pelosok Indonesia. Meskipun terlihat sederhana, namun pesan ini menyimpan makna yang dalam jika kita renungkan dan lakukan.
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar