M.Iqbal Dawami, http://resensor.blogspot. com
Di penghujung 2008, dunia tersentak oleh sebuah aksi barbar tentara Israel atas penduduk Gaza, Palestina. Olmert dan para pemimpin Israel lainnya menggempur Gaza selama 22 hari dalam sebuah kampung besar yang tertutup rapat dari semua penjuru. Hasilnya, lebih dari 1500 anak-anak, wanita, dan warga sipil meregang nyawa akibat serbuan peluru dari darat, laut, dan udara. Dan lebih dari 5000 manusia cedera dan cacat.
Aksi demonstrasi untuk mengutuk kekejaman Israel dari Australia hingga Panama membahana. Namun penulis buku ini membeberkan hal yang ironis, di antaranya, di saat maraknya demonstrasi, namun mulut para pemimpin dunia tergagap. Dan lebih parahnya lagi, para pemimpin Arab seolah membiarkan genosida itu, bahkan memberkatinya.
Buku ini mengajak pembaca memasuki lorong waktu penjarahan Palestina sejak berdirinya monster struktural bernama zionisme hingga tragedi genosida di Gaza secara blak-blakan. Buku ini niscaya akan menghentak pembaca dengan pengungkapan fakta yang lebih utuh seputar konflik Palestina, berikut "kabut konspirasi" yang melingkupinya, dan mendudukan persoalan Palestina secara objektif dan adil. Tak lain, usaha ini diakui oleh penulisnya sebagai salah satu bentuk dukungan moral.
Selain di atas, ada hal yang lebih penting lagi dari buku ini, yaitu keprihatinan sang penulis melihat ketidakseimbangan informasi dan opini seputar Agresi Israel atas Gaza. Tidak sedikit orang yang termakan oleh media pro Israel dan Imperialisme AS sehingga beranggapan bahwa serangan Israel atas Gaza yang menelan korban wafat 1500 orang lebih itu merupakan reaksi dari serangan roket Hamas terhadap Israel. Padahal, menurut penulis buku ini, serangan roket-roket sederhana itu merupakan reaksi dari blokade Israel atas darat, udara dan laut Gaza selama lebih dari 2 tahun.
Buku ini terdiri dari lima bagian. Pertama, mengulas legalitas Opsi perlawanan terhadap pendudukan dan penjajahan. Kedua, menggelar dua organisasi Palestina yang memilih perjuangan bersenjata. Ketiga, memaparkan proses demokrasi dan kedudukan politik Hamas di mata publik Palestina. Keempat, mengupas agresi Israel atas Gaza. Kelima, membahas peta politik Timur Tengah antara kubu "moderat"; MesirSaudiJordanFatah, dan kubu "perlawanan"; IranSuriahHizbullahHamas dan Jihad Islami.
Melalui buku ini terungkap bahwa setelah perang 2006, Israel benar-benar gatal untuk menjajal Hizbullah kembali, tetapi tidak memiliki dalih militer atas milisi Syiah itu. Pada pertengahan 2008, Israel berusaha keras memprovokasi pemerintah Presiden George W. Bush untuk menyerang dengan dalih program nuklir Iran yang dicurigai bertujuan militer; sebuah serangan yang nantinya diharapkan akan memprovokasi Hizbullah juga. Namun kali ini, Washington masih sedikit waras.
Tekanan krisis keuangan dan jatuhnya popularitas Bush di mata rakyat AS setidaknya menjadi faktor keengganan AS untuk menuruti keinginan Israel. Tinggallah Israel gigit jari. Kredibilitas Israel untuk melakukan teror turun satu tingkat lagi. Bagi Israel, tampaknya inilah saat yang tepat untuk menemukan sebuah target yang lemah sebagai sasaran penghancuran. Dan Gaza adalah "lokasi latihan menembak" favorit Israel, meskipun di sana ada pejuang-pejuang Palestina yang pada Juni 2008 memaksa Israel untuk menyepakati gencatan senjata.
Sejak pertengahan 2007, jalur Gaza, sebuah wilayah yang tidak mencapai setengah luas Jakarta dan padat dihuni oleh lebih dari 1,5 juta populasi, diblokade dari darat, laut, dan udara. Penduduknya dipaksa bergantung hidup dari bantuan kemanusiaan yang aksesnya juga dibatasi. Hidup tanpa pilihan di bawah blokade yang ketat seperti itu mengharuskan mereka bertindak, dan perlawanan adalah satu-satunya pilihan. Mereka menggali terowongan-terowongan sempit melintasi perbatasan demi meneriakkan perlawanan terhadap ketidakadilan yang ditimpakkan kepada mereka.
Walhasil, membaca buku ini kita menjadi maklum mengapa penduduk Palestina melakukan perlawanan. Selain hal di atas, perlawanan mereka sebenarnya dilegitimasi Resolusi PBB no. 37/43 yang berbunyi: "Menegaskan lagi legitimasi perjuangan bangsa-bangsa bagi kemerdekaan, integritas teritorial, kesatuan nasional, dan kebebasan dari penjajahan dan dominasi asing dengan semua cara yang tersedia, termasuk perjuangan bersenjata" (hlm. 16). ***
M.IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang
Di penghujung 2008, dunia tersentak oleh sebuah aksi barbar tentara Israel atas penduduk Gaza, Palestina. Olmert dan para pemimpin Israel lainnya menggempur Gaza selama 22 hari dalam sebuah kampung besar yang tertutup rapat dari semua penjuru. Hasilnya, lebih dari 1500 anak-anak, wanita, dan warga sipil meregang nyawa akibat serbuan peluru dari darat, laut, dan udara. Dan lebih dari 5000 manusia cedera dan cacat.
Aksi demonstrasi untuk mengutuk kekejaman Israel dari Australia hingga Panama membahana. Namun penulis buku ini membeberkan hal yang ironis, di antaranya, di saat maraknya demonstrasi, namun mulut para pemimpin dunia tergagap. Dan lebih parahnya lagi, para pemimpin Arab seolah membiarkan genosida itu, bahkan memberkatinya.
Buku ini mengajak pembaca memasuki lorong waktu penjarahan Palestina sejak berdirinya monster struktural bernama zionisme hingga tragedi genosida di Gaza secara blak-blakan. Buku ini niscaya akan menghentak pembaca dengan pengungkapan fakta yang lebih utuh seputar konflik Palestina, berikut "kabut konspirasi" yang melingkupinya, dan mendudukan persoalan Palestina secara objektif dan adil. Tak lain, usaha ini diakui oleh penulisnya sebagai salah satu bentuk dukungan moral.
Selain di atas, ada hal yang lebih penting lagi dari buku ini, yaitu keprihatinan sang penulis melihat ketidakseimbangan informasi dan opini seputar Agresi Israel atas Gaza. Tidak sedikit orang yang termakan oleh media pro Israel dan Imperialisme AS sehingga beranggapan bahwa serangan Israel atas Gaza yang menelan korban wafat 1500 orang lebih itu merupakan reaksi dari serangan roket Hamas terhadap Israel. Padahal, menurut penulis buku ini, serangan roket-roket sederhana itu merupakan reaksi dari blokade Israel atas darat, udara dan laut Gaza selama lebih dari 2 tahun.
Buku ini terdiri dari lima bagian. Pertama, mengulas legalitas Opsi perlawanan terhadap pendudukan dan penjajahan. Kedua, menggelar dua organisasi Palestina yang memilih perjuangan bersenjata. Ketiga, memaparkan proses demokrasi dan kedudukan politik Hamas di mata publik Palestina. Keempat, mengupas agresi Israel atas Gaza. Kelima, membahas peta politik Timur Tengah antara kubu "moderat"; MesirSaudiJordanFatah, dan kubu "perlawanan"; IranSuriahHizbullahHamas dan Jihad Islami.
Melalui buku ini terungkap bahwa setelah perang 2006, Israel benar-benar gatal untuk menjajal Hizbullah kembali, tetapi tidak memiliki dalih militer atas milisi Syiah itu. Pada pertengahan 2008, Israel berusaha keras memprovokasi pemerintah Presiden George W. Bush untuk menyerang dengan dalih program nuklir Iran yang dicurigai bertujuan militer; sebuah serangan yang nantinya diharapkan akan memprovokasi Hizbullah juga. Namun kali ini, Washington masih sedikit waras.
Tekanan krisis keuangan dan jatuhnya popularitas Bush di mata rakyat AS setidaknya menjadi faktor keengganan AS untuk menuruti keinginan Israel. Tinggallah Israel gigit jari. Kredibilitas Israel untuk melakukan teror turun satu tingkat lagi. Bagi Israel, tampaknya inilah saat yang tepat untuk menemukan sebuah target yang lemah sebagai sasaran penghancuran. Dan Gaza adalah "lokasi latihan menembak" favorit Israel, meskipun di sana ada pejuang-pejuang Palestina yang pada Juni 2008 memaksa Israel untuk menyepakati gencatan senjata.
Sejak pertengahan 2007, jalur Gaza, sebuah wilayah yang tidak mencapai setengah luas Jakarta dan padat dihuni oleh lebih dari 1,5 juta populasi, diblokade dari darat, laut, dan udara. Penduduknya dipaksa bergantung hidup dari bantuan kemanusiaan yang aksesnya juga dibatasi. Hidup tanpa pilihan di bawah blokade yang ketat seperti itu mengharuskan mereka bertindak, dan perlawanan adalah satu-satunya pilihan. Mereka menggali terowongan-terowongan sempit melintasi perbatasan demi meneriakkan perlawanan terhadap ketidakadilan yang ditimpakkan kepada mereka.
Walhasil, membaca buku ini kita menjadi maklum mengapa penduduk Palestina melakukan perlawanan. Selain hal di atas, perlawanan mereka sebenarnya dilegitimasi Resolusi PBB no. 37/43 yang berbunyi: "Menegaskan lagi legitimasi perjuangan bangsa-bangsa bagi kemerdekaan, integritas teritorial, kesatuan nasional, dan kebebasan dari penjajahan dan dominasi asing dengan semua cara yang tersedia, termasuk perjuangan bersenjata" (hlm. 16). ***
M.IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar