Koran Jakarta, Senin, 18 Mei 2009 (diposting oleh warso)
Di tengah gencarnya sosialisasi akan pentingnya membaca, didapatkan fakta tingkat konsumsi buku masyarakat Indonesia terbilang rendah. Hal ini menjadi PR serius apabila menghendaki meningkatnya taraf pendidikan di Indonesia.
Meningkatnya apresiasi masyarakat Indonesia terhadap buku kiranya menjadi kado spesial dalam hari buku nasional tahun ini yang jatuh pada 17 Mei. Buku yang merupakan cakrawala pengetahuan diharapkan menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat perkotaan.
Menurut Haidar Bagir, Direktur Utama PT Mizan Publika, sebuah penerbit buku nasional, dalam lima tahun terakhir minat baca masyarakat terbilang meningkat. Hal itu bisa dilihat dari produksi buku yang meningkat, jumlah outlet penjualan buku yang tersebar di pelbagai tempat, serta menjamurnya penerbit-penerbit baru. "Trennya dengan sangat jelas menunjukkan peningkatan," ujar Haidar.
Kondisi itu berbeda dengan periode 4 5 tahun yang lalu. Ketika itu, kata Haidar, setiap satu judul buku hanya terjual maksimal 3.000 eksemplar setiap tahunnya? Namun, sejak tahun 2008, penjualan buku meningkat 30 sampai 50 persen. Penjualan yang meningkat berkorelasi positif dengan peningkatan judul buku. Jika sebelumnya judul buku yang dirilis hanya berkisar 5.000 judul per tahun, kini jumlahnya meningkat menjadi 10.000 judul buku.
Pada seminar The World of Publishing: Good Script is Not Enough di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, beberapa waktu lalu, Aluisius Arisubagjo, Wakil Direktur PT Elex Media Komputindo mengatakan omzet penjualan buku baru dari beberapa gerai buku yang tersebar di seluruh Indonesia selama 2008 mencapai sekitar 1,1 triliun rupiah. Menurut Ketua Kompartemen Promosi Minat dan Baca IKAPI, Robinson Rusdi, buku baru yang terjual itu diterbitkan oleh 686 penerbit yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Dari jumlah penerbit itu, 106 di antaranya merupakan penerbit buku pelajaran, 460 penerbit buku umum, dan 120 penerbit memfokuskan diri pada buku-buku bergenre islami.
Tingkat konsumsi buku di Tanah Air yang meningkat pesat sebenarnya belum sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 200 juta jiwa. "Laskar Pelangi yang dianggap telah mencapai penjualan 1 juta eksemplar pun belum mencakup satu persen penduduk Indonesia," ujar Haidar. Haidar menambahkan tingkat konsumsi buku berkaitan dengan tingkat pendidikan.
Dilihat dari masih rendahnya tingkat konsumsi buku di Indonesia, dapat digambarkan betapa masyarakat kita masih belum mementingkan pendidikan. Kalau mau dirunut, papar Haidar, terjadi kesalahan pada awal munculnya transisi budaya baca ke audio visual. Teknologi audio visual datang terlalu cepat saat budaya baca di masyarakat Indonesia kurang kuat. Itulah yang menjadikan buku terabaikan karena perhatian teralihkan pada media elektronik.
Bagong Suyanto, pakar masalah sosial anak dan pendidikan dari Universitas Airlangga, Surabaya, mengatakan buku dan minat baca seharusnya sudah dikenalkan kepada anak sejak dini. "Dengan diberikan lebih awal, anak akan terbiasa dengan budaya membaca. Anak juga akan lebih kritis ketika bertanya mengenai berbagai segala bidang," jelasnya. Bagong tidak menampik apabila saat ini minat baca di perkotaan meningkat. Hanya saja minat itu masih berada pada tataran reading for pleasure (membaca untuk kesenangan).
Paling Disukai
Ke-10.000 judul buku yang diproduksi itu memiliki genre beragam. Ada novel yang mengambil segmen remaja, horor, atau thriller. Ada pula buku swabantu (self help), buku politik, psikologi populer, buku komik, buku panduan (how to), buku keuangan, atau filsafat. Kesemuanya tentu berebut meraih predikat best seller atau terlaris. Masing-masing penerbit dapat memberikan kriteria sendiri untuk mengecap buku-buku terbitannya termasuk best seller. "Saat diminta memberikan data, beberapa penerbit dapat melebih-lebihkan data buku terlarisnya. Ini akan menaikkan prestise penerbitan tersebut," ujar Robinson.
Namun, secara umum, kriteria buku terlaris bisa digeneralisasikan. Pertama, sebuah buku harus terbit dan beredar di pasaran dalam kurun waktu tertentu. Kedua, catatan penjualan buku tersebut dibandingkan dengan buku sejenisnya dan terbukti penjualannya adalah yang tertinggi untuk periode tertentu. Ketiga, predikat best seller akan disandangkan apabila datanya benar-benar akurat.
Dengan kriteria-kriteria tersebut, biasanya sebuah buku tidak bisa mendapatkan label best seller pada cetakan pertama. Menurut Haidar, saat ini, genre novel memoir inspiratif menjadi favorit banyak orang. Selain Laskar Pelangi, Haidar menunjuk Three Cup Tea, buku karangan Gregg Mortimer, merupakan buku-buku yang banyak dicari. Selain memoir inspiratif, novel tentang konflik kerajaan maupun motivasi juga terbilang sangat laris.
Bagi para penerbit, kemunculan teknologi informasi bukanlah sebuah ancaman, justru sebaliknya bisa menjadi pelengkap. Bahkan, penerbit merasa diuntungkan karena dunia maya bisa menjadi ajang promosi yang murah namun efisien. "Internet tidak bisa menggantikan buku karena yang muncul di Internet kebanyakan kurang detail," ujar Robinson. Haidar menambahkan buku menawarkan sesuatu yang praktis karena bisa dikantongi, bisa dibaca sambil rebahan, halamannya bisa dibolak-balik saat pembaca ingin kembali ke halaman sebelumnya, bahkan buku tidak terlalu melelahkan mata.
Memang pernah muncul beberapa buku dalam versi elektronik (e-book). Namun, buku versi itu hanya diperbanyak sebanyak 4.000 kopi dan setelah itu tidak diproduksi lagi. Kenyamanan ketika membaca buku cetakan memang tidak bisa digantikan. Selain itu, tutur Haidar, buku juga menawarkan kedalaman dalam hal pembahasan dan data yang dielaborasikan. Alasan-alasan itulah yang menjadikan buku tetap mendapat tempat khusus di hati para pembacanya. hag/L-2
www.dinamikaebooks.com
Minggu, 31 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar