M. Thobroni, Jawa Pos, Minggu, 24 Mei 2009
Dalam sebuah diskusi, saya mendapatkan sebuah pertanyaan menarik: mengapa buku agama (baca: Islam) tetap eksis, bahkan kian laris? Pertanyaan semacam itu tentu lahir dari fenomena derasnya penerbitan buku-buku agama dalam beberapa tahun terakhir. Satu hal penting yang muncul sebagai jawaban dalam diskusi tersebut, fenomena merebaknya buku agama tidak terlepas dari peran agama dalam kehidupan masyarakat. Apresiasi positif masyarakat kepada buku agama menandakan bahwa masyarakat sedang mengalami kegelisahan oleh banyak sumber; mungkin kegaduhan politik, krisis finansial, juga krisis spiritual. Buku agama ibarat \"nabi baru\" yang mewartakan \"wahyu\" kepada masyarakat.
Antusiasme penerbitan buku agama ini harus disikapi secara positif oleh semua pihak. Bagaimanapun, buku sebagai media transformasi nilai diharapkan tetap menjadi menu pokok yang menyehatkan jiwa dan pikiran masyarakat. Dengan gemar membaca buku masyarakat diharapkan menemukan sahabat diskusi tentang berbagai hal di tengah beragam kesibukan. Dengan kata lain, sesungguhnya banyak pihak berharap buku agama (juga penulis dan penerbitnya) mampu memainkan peran lebih besar untuk mendorong buku sebagai sumber inspirasi perubahan sosial.
Harapan semacam itu tentu tidak mudah diwujudkan. Kenyataannya, juga dalam sebuah diskusi, mengemuka semacam kegelisahan dari beberapa pihak tentang apa yang disebut sebagai \"jebakan industri\". Benarkah buku agama (dan penulisnya) telah dijebak oleh industri buku? Asumsi yang dimajukan ialah penerbitan buku agama lebih disebabkan oleh keberterimaan pasar yang positif. Penerbit mengeksploitasi buku agama untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya, sedangkan penulis menjadikan agama sebagai mesin uang berupa royalty. Dalam kata lain, ada semacam tuduhan bahwa penerbitan buku agama tidak benar-benar dilandasi semacam \"idealisme\" dan \"keikhlasan\" tertentu. Tetapi karena pasar buku sedang membutuhkan buku agama. Keresahan beberapa pihak itu tentu menjadi kritik bagi penulis dan penerbit.
Kritik semacam itu harus dijawab dengan keseriusan untuk membangun pemahaman baru dalam penulisan dan penerbitan buku. Buku agama yang telah menempati hati masyarakat diharapkan tidak menjadi sumber kejumudan baru. Di tengah masyarakat yang dilanda multikrisis, buku agama dituntut untuk menawarkan \"konsep baru\", yang lebih mencerahkan dan menginspirasi pembaca untuk berubah dan melakukan perubahan. Dengan membaca buku agama, masyarakat tidak sekadar mendapatkan semacam \"obat penenang\" dari frustasi dan kebuntuan hidup, tetapi juga bangkit bergerak menciptakan karya kebajikan.
Buku memiliki potensi dan kemampuan menyodorkan kemungkinan terjadinya proses dialog dalam diri pembaca. Seharusnya, potensi itu dapat dimaksimalkan untuk mengajak pembaca menciptakan peluang-peluang membangun peradaban yang lebih manusiawi. Bukan sebaliknya, menyeret pembaca menuju menara gading, menjauhi beragam problem yang melingkupi kehidupan manusia. Buku agama seharusnya lebih didorong untuk melahirkan masyarakat yang lebih rasional memahami kehidupan dalam perspektif agama, bukan justru mengungkung mereka dalam pikir dan perilaku irasional. Kegagalan buku agama mendorong masyarakat berpikir dan berperilaku rasional bukan saja tidak menghasilkan karya kebajikan, sebaliknya menghadirkan perilaku destruktif dan menghancurkan karya yang telah diciptakan dengan susah payah. Contoh nyata, buku agama boleh dianggap gagal bila setelah membacanya, pembaca terinspirasi untuk meledakkan bom di sebuah bangunan, atau bentuk teror yang lain.
Dengan kata lain, buku agama seharusnya hadir sebagai \"cahaya\" yang mencerahkan pembaca. Buku ditulis dan diterbitkan bukan semata memberi informasi, tetapi menjadi sumber inspirasi berkarya. Buku agama tidak kehilangan relevansi sosial. Katakanlah hari ini masyarakat Indonesia sedang didera problem kemiskinan dan kebodohan yang akut. Banyak analisis dapat disodorkan: akibat kungkungan kekuatan kapitalisme global, keserakahan penguasa, manipulasi oleh kalangan agawaman dan cendekiawan, dan sebagainya. Pengangguran kian membengkak, angka anak tak bersekolah juga tidak dapat dikatakan rendah, kekerasan berbasis gender merebak, kriminalitas kian bervariasi, kerusakan lingkungan merajalela, eksploitasi sumber daya alam tak terkontrol, dan seterusnya. Apa yang dapat diperankan oleh buku agama dalam situasi semacam ini?
Ketika tokoh agama \"mandul\" dalam menyelesaikan beragam problem, baik secara struktural maupun kultural, buku dapat memerankan diri sebagai ujung tombak advokasi kesadaran bagi masyarakat. Banyak buku agama yang melihat beragam persoalan di Indonesia dewasa ini dengan \"gegabah\" dan \"kurang akurat\". Ada pembaca yang setelah membaca buku agama beranggapan bahwa kemiskinan dan kebodohan adalah takdir Tuhan. Karena dianggap sebagai takdir Tuhan, kemiskinan dan kebodohan lantas diterima tanpa berani bertanya mengapa kemiskinan dan kebodohan menjerat mereka? Bahkan, ada yang berharap, dengan melestarikan kemiskinan dan kebodohan itu akan meraup ganjaran dari Tuhan dan berkumpul bersama para utusan Tuhan di surga-Nya. Maka, bertanya tentang akar kemiskinan dan kebodohan dimaknai sebagai tindakan tidak bersyukur.
Banyak buku agama yang menawarkan cara pikir dan cara perilaku semacam itu. Ketika berbicara tentang dosa, yang dibahas ialah \"dosa ritual\" seperti enggan sembahyang, puasa, zakat, atau haji. Juga, maksiat hanya dimaknai dalam \"praksis sederhana\" semacam pergi ke tempat mesum, judi, minum alkohol, dan semacamnya. Tidak terlalu banyak buku yang mengajak pembaca untuk memaknai mengapa sembahyang perlu didirikan, puasa perlu ditunaikan, zakat perlu digalakkan, atau haji perlu dilaksanakan? Sehingga buku agama belum berhasil melakukan transformasi dari mendorong pembaca untuk mewujudkan kesalehan ritual menuju kesalehan sosial.
Buku agama seharusnya berani bersuara bahwa korupsi, membabat hutan seenak sendiri, merusak lingkungan, memanipulasi rakyat, kekerasan berbasis gender, kekerasan atas nama agama, dan sebagainya, sebagai sebentuk maksiat yang harus diberantas. Jihad juga perlu dimaknai bukan sekadar \"berani mati\" dengan pergi perang ke Palestina, mengacung-acungkan parang, dan semacamnya. Sementara, Nabi Muhammad justru menyatakan bahwa jihad terbesar dan terberat adalah memerangi hawa nafsu yang bersarang dalam diri umat. Buku agama perlu mendorong wacana perlunya \"berani hidup\" dengan merumuskan berbagai kemungkinan solusi persoalan sosial di sekitarnya, bukan dengan melarikan diri dari persoalan.
Inilah tantangan besar bagi penulis dan penerbit buku agama. Tahun ini dan masa mendatang, kita berharap dunia perbukuan, khususnya buku agama, lebih menjanjikan. Bukan sekadar menjanjikan perkembangan kuantitas, tetapi juga kualitasnya. (*)
*) M. Thobroni, penulis buku Tahajud Energi Sejuta Mukjizat (2008), bermukim di Jogjakarta
www.dinamikaebooks.com
Minggu, 24 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar