Rakyat Merdeka | Minggu, 25 Januari 2009 | Oleh Awinullah
Keingintahuan akan masa depan memang menjadi naluri alamiah yang melekat pada diri manusia, bahkan sejak zaman baheula. Peradaban masa lalu mengenal para ahli nujum atau ahli ramal yang dipercaya mengetahui apa yang akan terjadi kelak. Muncullah nama-nama seperti Nostradamus, Ronggowarsito, Joyoboyo, dan sosok-sosok lain yang dipercaya bisa "melihat" apa yang akan terjadi di masa depan.
Mengetahui masa depan ternyata tidak hanya didominasi oleh para "aktivis mistis" semata. Banyak pula para saintis yang mengabdikan diri mereka untuk mengetahui perihal apa yang akan terjadi di masa depan. Tentu saja, metode mereka lebih menggunakan logika dan analisis-analisis ilmiah, bukan dengan jampi-jampi atau ramalan tertentu. Upaya akademik mereka kemudian melahirkan sebuah disiplin ilmu yang tenar dengan nama futurologi.
Disiplin ilmu futurologi dipopulerkan pada periode 1970-an oleh saintis bernama Alvin Toffler. Ia mengajukan ramalan bahwa gelak dunia akan berubah seiring cepatnya teknologi, dan yang paling cepat mempengaruhi dunia adalah teknologi informasi. Ramalannya terbukti benar, saat ini dunia sedang berpesta pora atas mudahnya akses informasi melalui bebagai macam media: internet, televisi, telepon selluler, yang mau tidak mau mengubah cara hidup manusia.
Salah satu ilmuwan yang juga layak disebut futurolog adalah Samuel Huntington, yang pada 27 Desember 2008 lalu meninggal dunia. Huntington meramalkan, selepas berakhirnya perang dingin, persaingan antar macam peradaban di dunia ini tetap akan berlanjut. "Benturan antar peradaban", begitu Huntington mengistilahkan, bahkan akan mengambil basis agama dalam pertarungan mereka. Ramalan itupun terbukti. Pasca terjadinya pengeboman di gedung WTC, apa yang ia ramalkan terjadi. Invasi Amerika ke Afghanistan dan Irak semakin mengukuhkan kebenaran tesisnya. Dan yang lebih ironi, detik-detik menjelang kematiannya justru "dirayakan" oleh invasi Israel ke Jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 1000 penduduk sipil. Perang berbasis agama telah terjadi, sebagaimana yang telah diramalkan Huntington.
Sebagaimana Toffler dan Huntington, James Canton, sang penulis buku ini juga layak mendapat predikat sebagai futurolog. Ia adalah murid langsung Alvin Toffler yang melanjutkan metode ilmiah sang guru dalam memprediksi apa yang akan dialami dunia di masa depan. Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa prediksinya mengenai bagaimana keadaan dunia hingga 20 tahun ke depan.
Canton menulis banyak hal mengenai masa depan, di antaranya perihal nasib energi minyak yang akan habis dan tergantikan dengan energi yang terbarukan. Pada 2025 kelak, Canton meramalkan, sains masih akan berkembang dengan sangat pesat. Teknologi kedokteran akan semakin maju sehingga usia manusia akan kian panjang. Selain itu, Canton juga meramalkan bahwa iklim di masa depan akan semakin buruk akibat pemanasan global.
Hal yang menarik dari ramalan Canton adalah bahwa "Benturan Peradaban", sebagaimana diramalkan Huntington, masih akan terus terjadi. Globalisasi adalah penyebabnya. Semakin mudahnya manusia terhubung satu sama lain justru akan membuat nilai-nilai yang mereka anut saling bertabrakan. Selain itu, Canton memprediksi, Cina akan tumbuh menjadi negara yang sangat kuat, dan menjadi negara penentu dalam ekonomi global.
Walaupun masih terkesan "mengekor" para futurolog pendahulunya dalam beberapa ramalan, Canton juga cukup berani melakukan beberapa prediksi yang agak "aneh". Misalnya, ia memprediksi bahwa bumi akan menemukan kontak dengan alien (hlm. 352), dan bahwa tahun 2050 kecerdasan buatan (artificial intelegence) atau robot akan sanggup mengalahkan manusia (hlm. 355). Terlepas dari benar tidaknya ramalan tersebut, Canton mengaku bahwa ia sudah memakai metode yang logis dan ilmiah, sebagaimana yang juga digunakan Alvin Toffler.
Bagi Anda yang tertarik untuk berpikir dan memperbincangkan masa depan, buku ini menarik untuk dibaca.
Keingintahuan akan masa depan memang menjadi naluri alamiah yang melekat pada diri manusia, bahkan sejak zaman baheula. Peradaban masa lalu mengenal para ahli nujum atau ahli ramal yang dipercaya mengetahui apa yang akan terjadi kelak. Muncullah nama-nama seperti Nostradamus, Ronggowarsito, Joyoboyo, dan sosok-sosok lain yang dipercaya bisa "melihat" apa yang akan terjadi di masa depan.
Mengetahui masa depan ternyata tidak hanya didominasi oleh para "aktivis mistis" semata. Banyak pula para saintis yang mengabdikan diri mereka untuk mengetahui perihal apa yang akan terjadi di masa depan. Tentu saja, metode mereka lebih menggunakan logika dan analisis-analisis ilmiah, bukan dengan jampi-jampi atau ramalan tertentu. Upaya akademik mereka kemudian melahirkan sebuah disiplin ilmu yang tenar dengan nama futurologi.
Disiplin ilmu futurologi dipopulerkan pada periode 1970-an oleh saintis bernama Alvin Toffler. Ia mengajukan ramalan bahwa gelak dunia akan berubah seiring cepatnya teknologi, dan yang paling cepat mempengaruhi dunia adalah teknologi informasi. Ramalannya terbukti benar, saat ini dunia sedang berpesta pora atas mudahnya akses informasi melalui bebagai macam media: internet, televisi, telepon selluler, yang mau tidak mau mengubah cara hidup manusia.
Salah satu ilmuwan yang juga layak disebut futurolog adalah Samuel Huntington, yang pada 27 Desember 2008 lalu meninggal dunia. Huntington meramalkan, selepas berakhirnya perang dingin, persaingan antar macam peradaban di dunia ini tetap akan berlanjut. "Benturan antar peradaban", begitu Huntington mengistilahkan, bahkan akan mengambil basis agama dalam pertarungan mereka. Ramalan itupun terbukti. Pasca terjadinya pengeboman di gedung WTC, apa yang ia ramalkan terjadi. Invasi Amerika ke Afghanistan dan Irak semakin mengukuhkan kebenaran tesisnya. Dan yang lebih ironi, detik-detik menjelang kematiannya justru "dirayakan" oleh invasi Israel ke Jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 1000 penduduk sipil. Perang berbasis agama telah terjadi, sebagaimana yang telah diramalkan Huntington.
Sebagaimana Toffler dan Huntington, James Canton, sang penulis buku ini juga layak mendapat predikat sebagai futurolog. Ia adalah murid langsung Alvin Toffler yang melanjutkan metode ilmiah sang guru dalam memprediksi apa yang akan dialami dunia di masa depan. Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa prediksinya mengenai bagaimana keadaan dunia hingga 20 tahun ke depan.
Canton menulis banyak hal mengenai masa depan, di antaranya perihal nasib energi minyak yang akan habis dan tergantikan dengan energi yang terbarukan. Pada 2025 kelak, Canton meramalkan, sains masih akan berkembang dengan sangat pesat. Teknologi kedokteran akan semakin maju sehingga usia manusia akan kian panjang. Selain itu, Canton juga meramalkan bahwa iklim di masa depan akan semakin buruk akibat pemanasan global.
Hal yang menarik dari ramalan Canton adalah bahwa "Benturan Peradaban", sebagaimana diramalkan Huntington, masih akan terus terjadi. Globalisasi adalah penyebabnya. Semakin mudahnya manusia terhubung satu sama lain justru akan membuat nilai-nilai yang mereka anut saling bertabrakan. Selain itu, Canton memprediksi, Cina akan tumbuh menjadi negara yang sangat kuat, dan menjadi negara penentu dalam ekonomi global.
Walaupun masih terkesan "mengekor" para futurolog pendahulunya dalam beberapa ramalan, Canton juga cukup berani melakukan beberapa prediksi yang agak "aneh". Misalnya, ia memprediksi bahwa bumi akan menemukan kontak dengan alien (hlm. 352), dan bahwa tahun 2050 kecerdasan buatan (artificial intelegence) atau robot akan sanggup mengalahkan manusia (hlm. 355). Terlepas dari benar tidaknya ramalan tersebut, Canton mengaku bahwa ia sudah memakai metode yang logis dan ilmiah, sebagaimana yang juga digunakan Alvin Toffler.
Bagi Anda yang tertarik untuk berpikir dan memperbincangkan masa depan, buku ini menarik untuk dibaca.
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar