Republika, 27 Febuari 2009
Setiap pasangan suami istri ingin memiliki rumah tangga yang bahagia. Namun ternyata, tidak semua pasangan dapat merasakannya. Banyak masalah yang dihadapi pasangan suami istri (pasutri). Dimulai dari penyatuan dua kepribadian yang berbeda, hingga masalah yang berkaitan dengan ekonomi ataupun keluarga.
Ada pasangan yang dapat dengan tangguh menghadapi badai pernikahan. Namun ada pula pasangan yang akhirnya memilih jalan masing-masing, walaupun keputusan tersebut tidaklah mudah.
Dalam buku ini penulis mengemukakan, kenyataannya, memang banyak wanita yang beranggapan bahwa pernikahan itu seperti fairy tale. Saat wanita menikah, ia membawa daftar harapan. Beberapa dari harapan yang tercantum itu kadang ada yang tidak realistis. Beberapa lebih menyerupai fantasi yang didapat dari film, buku, televise dan lain sebagainya. Dan ternyata, memang harapan akan sering tidak sesuai dengan yang dialami. Ketika kenyataan tak sesuai daftar harapan tersebut, wanitamulai berkesimpulan bahwa ia telah menikah dengan orang yang salah. Dengan setiap kekecewaan tersebut wanita mulai berpikir bahwa pernikahannya tidak akan berjalan dengan baik.
Penulis buku ini mengemukakan, bahwa sebagai seorang istri, ia pun pada masa-masa awal pernikahan menghadapi kehidupan rumah tangga yang tidak mudah. Kesedihan, kegalauan, kemarahan dan pertengkaran dengan suami, pernah dia lalui. Bahkan ia pernah bertanya pada diri sendiri, apakah ia telah salah melangkah, salah dalam mengambil keputusan. "Nikah itu seperti seperti naik roller coaster harus siap dijungkirbalikkan, siap muntah-muntah, kapok, bahkan, akan mati jika terjatuh,'' demikian ungkapnya.
Karena itulah ia menuliskan buku ini sebagai kado pernikahan untuk berbagi kepada sesama pasangan suami istri baik yang baru menikah, ataupun yang telah beberapa tahun menikah. 'Saya tuliskan hari-hari kelabu saya hingga akhirnya saya menemukan kembali pelangi di kehidupan saya. Walaupun saya masih terus belajar untuk itu, karena pernikahan bagi saya adalah sebuah pelajaran kehidupan yang hanya Allah saja yang mengetahui masa depannya,' tuturnya.
Penulis membagi bukunya menjadi empat bab. Dimulai dari babI, keterpurukan, yang memaparkan persoalan-persoalan yang diawali oleh penulis pada awal-awal pernikahannya dan membuatnya merasa tidak bahagia. Apalagi ia dan suami tinggal di Amerika Serikat, negeri yang secara kultur berbeda dengan Indonesia. Di sini ia mengungkapkan hal-hal yang menjadi ranjau-ranjaupernikahan. Misalnya selera makanan yang berbeda, hingga kebiasaan yang berbeda. Sang suami lebih senang menyendiri, berjam-jam di depan komputer dan pekerjaannya. Sedangkan ia tidak suka menyendiri. Ia senang berkumpul bersama teman-teman ataupun hadir di acara-acara pertemuan. Ia senang bergaul, berkenalan dengan banyak orang.
"Hari-hari kelam saya lalui hingga akhirnya saya menemukan cahaya yang membawa saya keluar dari keterpurukan. Cahaya yang ternyata tersimpan di diri saya sendiri dan saya tak menyadarinya. Bahwa ternyata, kebahagiaan saya dibuat dan ditentukan oleh saya sendiri, bukan oleh suami saya. Saya yang bertanggung jawab terhadap kehidupan saya sendiri. Sayalah yang menjadi bos bagi diri saya sendiri, sehingga saya dapat menyadari kehebatan yang ada pada diri saya.'' (hlm 20)
Bab II mengupas jalan kebahagiaan. Ada banyak harapan dan perbedaan pada awalnya, namun begitu kita bisa menerima pasangan kita apa adanya, dan berdamai dengan kenyataan, segalanya jadi lebih mudah, kebahagiaan pun bukanlah sesuatu yang jauh untuk digapai. "Ketika saya dapat menghormati dan menerima perbedaan tersebut, maka saya dapat memberikan kesempatan untuk menumbuhkan rasa pengertian di antara kami." (hlm 32)
Bagian III , menjaga kebahagiaan. Di bab ini penulis membagi berbagai tips menjaga kebahagiaan, termasuk tips harian. Salah satu cara terpenting adalah bersyukur. ''Ah, bersyukur! Alhamdulillah, itulah resep untuk mendapatkan apa yang saya inginkan.'' (hlm 153)
Penulis menutup bukunya dengan bab IV yang intinya mem bahas bahwa ia dan suami masih terus berproses untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia. ''Sampai saat ini kami pun masih menemukan krikil-krikil dalam kehidupan sehari-hari, karena saya tahu, tidak ada manusia yang sempurna. Bahkan kami masih menemukan banyak sekali perbedaan di antara kami. Tetapi ketika saya dapat menghormati dan menerima perbedaan tersebut, maka saya dapat memberikan kesempatan untuk menumbuhkan rasa pengertian di antara kami.'' (hlm 174)
Buku ini sangat penting dibaca oleh setiap calon pasangan suami istri, agar lebih siap menempuh kehidupan rumah tangga, sehingga mampu meraih kebahagiaan yang mereka impikan. Bahkan, buku ini juga perlu dibaca oleh mereka yang sudah sekian lama menikah, untuk merajut kembali serpihan-serpihan kebahagiaan yang mungkin sudah berserakan. ¦ ika
Setiap pasangan suami istri ingin memiliki rumah tangga yang bahagia. Namun ternyata, tidak semua pasangan dapat merasakannya. Banyak masalah yang dihadapi pasangan suami istri (pasutri). Dimulai dari penyatuan dua kepribadian yang berbeda, hingga masalah yang berkaitan dengan ekonomi ataupun keluarga.
Ada pasangan yang dapat dengan tangguh menghadapi badai pernikahan. Namun ada pula pasangan yang akhirnya memilih jalan masing-masing, walaupun keputusan tersebut tidaklah mudah.
Dalam buku ini penulis mengemukakan, kenyataannya, memang banyak wanita yang beranggapan bahwa pernikahan itu seperti fairy tale. Saat wanita menikah, ia membawa daftar harapan. Beberapa dari harapan yang tercantum itu kadang ada yang tidak realistis. Beberapa lebih menyerupai fantasi yang didapat dari film, buku, televise dan lain sebagainya. Dan ternyata, memang harapan akan sering tidak sesuai dengan yang dialami. Ketika kenyataan tak sesuai daftar harapan tersebut, wanitamulai berkesimpulan bahwa ia telah menikah dengan orang yang salah. Dengan setiap kekecewaan tersebut wanita mulai berpikir bahwa pernikahannya tidak akan berjalan dengan baik.
Penulis buku ini mengemukakan, bahwa sebagai seorang istri, ia pun pada masa-masa awal pernikahan menghadapi kehidupan rumah tangga yang tidak mudah. Kesedihan, kegalauan, kemarahan dan pertengkaran dengan suami, pernah dia lalui. Bahkan ia pernah bertanya pada diri sendiri, apakah ia telah salah melangkah, salah dalam mengambil keputusan. "Nikah itu seperti seperti naik roller coaster harus siap dijungkirbalikkan, siap muntah-muntah, kapok, bahkan, akan mati jika terjatuh,'' demikian ungkapnya.
Karena itulah ia menuliskan buku ini sebagai kado pernikahan untuk berbagi kepada sesama pasangan suami istri baik yang baru menikah, ataupun yang telah beberapa tahun menikah. 'Saya tuliskan hari-hari kelabu saya hingga akhirnya saya menemukan kembali pelangi di kehidupan saya. Walaupun saya masih terus belajar untuk itu, karena pernikahan bagi saya adalah sebuah pelajaran kehidupan yang hanya Allah saja yang mengetahui masa depannya,' tuturnya.
Penulis membagi bukunya menjadi empat bab. Dimulai dari babI, keterpurukan, yang memaparkan persoalan-persoalan yang diawali oleh penulis pada awal-awal pernikahannya dan membuatnya merasa tidak bahagia. Apalagi ia dan suami tinggal di Amerika Serikat, negeri yang secara kultur berbeda dengan Indonesia. Di sini ia mengungkapkan hal-hal yang menjadi ranjau-ranjaupernikahan. Misalnya selera makanan yang berbeda, hingga kebiasaan yang berbeda. Sang suami lebih senang menyendiri, berjam-jam di depan komputer dan pekerjaannya. Sedangkan ia tidak suka menyendiri. Ia senang berkumpul bersama teman-teman ataupun hadir di acara-acara pertemuan. Ia senang bergaul, berkenalan dengan banyak orang.
"Hari-hari kelam saya lalui hingga akhirnya saya menemukan cahaya yang membawa saya keluar dari keterpurukan. Cahaya yang ternyata tersimpan di diri saya sendiri dan saya tak menyadarinya. Bahwa ternyata, kebahagiaan saya dibuat dan ditentukan oleh saya sendiri, bukan oleh suami saya. Saya yang bertanggung jawab terhadap kehidupan saya sendiri. Sayalah yang menjadi bos bagi diri saya sendiri, sehingga saya dapat menyadari kehebatan yang ada pada diri saya.'' (hlm 20)
Bab II mengupas jalan kebahagiaan. Ada banyak harapan dan perbedaan pada awalnya, namun begitu kita bisa menerima pasangan kita apa adanya, dan berdamai dengan kenyataan, segalanya jadi lebih mudah, kebahagiaan pun bukanlah sesuatu yang jauh untuk digapai. "Ketika saya dapat menghormati dan menerima perbedaan tersebut, maka saya dapat memberikan kesempatan untuk menumbuhkan rasa pengertian di antara kami." (hlm 32)
Bagian III , menjaga kebahagiaan. Di bab ini penulis membagi berbagai tips menjaga kebahagiaan, termasuk tips harian. Salah satu cara terpenting adalah bersyukur. ''Ah, bersyukur! Alhamdulillah, itulah resep untuk mendapatkan apa yang saya inginkan.'' (hlm 153)
Penulis menutup bukunya dengan bab IV yang intinya mem bahas bahwa ia dan suami masih terus berproses untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia. ''Sampai saat ini kami pun masih menemukan krikil-krikil dalam kehidupan sehari-hari, karena saya tahu, tidak ada manusia yang sempurna. Bahkan kami masih menemukan banyak sekali perbedaan di antara kami. Tetapi ketika saya dapat menghormati dan menerima perbedaan tersebut, maka saya dapat memberikan kesempatan untuk menumbuhkan rasa pengertian di antara kami.'' (hlm 174)
Buku ini sangat penting dibaca oleh setiap calon pasangan suami istri, agar lebih siap menempuh kehidupan rumah tangga, sehingga mampu meraih kebahagiaan yang mereka impikan. Bahkan, buku ini juga perlu dibaca oleh mereka yang sudah sekian lama menikah, untuk merajut kembali serpihan-serpihan kebahagiaan yang mungkin sudah berserakan. ¦ ika
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar