Jumat, 06 Februari 2009

[resensi buku] Saat Wall Street Coba Taklukkan China

Chaerul Arif, Media Indonesia, Sabtu, 15 Desember 2007

China menjadi fenomena yang menarik sekaligus menakutkan bagi negara-negara di  dunia, bahkan Amerika Serikat (AS) pun kawatir dengan perkembangan China. Dalam  jangka waktu yang relatif singkat, China menjelma dari negara miskin menjadi  salah satu pusat kekuatan   kapitalisme global. Bahkan pertumbuhan ekonomi China  tiga kali lebih cepat ketimbang AS.
 
Dalam kurun 25 tahun, China mampu memperbaiki perekonomiannya, sehinga banyak  produknya membanjiri pasar internasional, mulai dari produk elektronik, produk  kosmetik sampai obat-obatan.
 
Pada 1990-an, muncul gelombang baru di bidang perekonomian di China, dengan  membuka diri terhadap investasi asing. Atas peluang itu, Wall Street turut ambil  bagian dalam praktik bisnis di 'Negeri Tirai Bambu' tersebut. Ketika para bankir  dari New York, yang kebanyakan bergelar MBA dari Universitas Harvard, siap  negosiasi dengan para Kader Senior (China), panggung pun tercipta bagi  berlangsungnya bentrokan serius antara dua kebudayaan yang berbeda. Sistem    keuangan Wall Street berjibaku melawan salah satu kebudayaan tertua di dunia  tersebut.
 
Di balik kesuksesan China, ternyata ada kisah tragis dari seorang bankir Wall  Street yang mengalami kerugian besar dalam usahanya membangun kerajaan bisnis di  sana. Penyebabnya, struktur sosial dan kultural China yang jadi acuan bagi lakon  bisnis kaum tirai bambu tak bisa akur dengan kaidah-kaidah ekonomi negara Barat  yang diterapkan sang bankir, yang mengira bisa menaklukkan China tanpa mengerti  apa yang harus dilakukannya.
 
Dalam buku Mr. China ini, Tim Clissold menceritakan bagaimana susahnya  memulai karir bisnis di China. Clissold sudah sembilan belas tahun tinggal dan  bekerja di China, bahkan dia telah mengunjungi sebagian   besar wilayah Negeri  Tirai Bambu ini. Clissold sampai menyempatkan diri belajar bahasa China-Mandarin  selama dua tahun sebelum akhirnya turut mendirikan sebuah "kelompok pemodal  swasta" yang menanamkan sahamnya di China.
 
Menyusul perjalanan pertamanya ke China, pemuda Inggris ini melepaskan posisinya  di sebuah konsultan besar di London untuk kembali ke Beijing dan belajar tentang  China. Dua tahun kemudian, pemuda ini lebih fasih berbahasa dan tidak lagi buta  tentang budaya China.
 
Dengan semangat baru, dia bertekat kembali ke China untuk memulai pertempuran  dengan pola pikir yang baru. Memang tidak semua masalah dapat ia selesaikan dan  tidak pula semua pertempuran ia menangkan. Tetapi pertempuran itu membawanya  pada   kesadaran baru tentang bagaimana berhubungan dan berbisnis di negara China.  ia pun kembali ke pekerjaan lamanya untuk ditempatkan di Hong Kong. Eforia  investasi ke China di awal 1990-an membuat para pemilik modal menumpuk jutaan  dolar untuk 'dana-dana China' di Hong Kong tanpa tahu mau diapakan.
 
Pat, sang bankir investasi Wall Street, dan Ai Jian, mantan pejabat pemerintahan  China, berupaya mempertemukan Clissold dengan kedua partner mereka untuk mencari  proyek investasi. Dengan karisma dan pengalamannya di Wall Street, Pat  mengumpulkan lebih dari 400 juta dolar dalam waktu singkat. Dalam kurun dua  tahun, konsorsium ini berubah menjadi perusahaan dengan 20 bisnis dan lebih dari  25 ribu pegawai.
 
Naif terhadap realitas negara   berkembang seperti China, Clissold dan kawan-kawan  awalnya menggunakan kacamata Wall Street di China. Mereka bersandar pada  cara-cara straightforward ala negara-negara Barat yang mengandalkan pada  staf ahli asing, kontrak tertulis, dan tentu saja polisi serta sistem hukum.  Namun, pada kenyataanya semua teknik yang mereka pelajari di negara maju itu  impoten di China.
 
Maka, impian kejayaan pun berangsur-angsur berubah menjadi mimpi buruk. Problem  muncul di mana-mana: mulai dari pekerja yang tidak mau memperbaiki etos kerja  yang buruk, pembelanjaan anggaran seenaknya tanpa perhitungan, sampai  penggelapan uang perusahaaan. Upaya menghadapi resistensi ini dengan cara Barat  melalui polisi, pengadilan, ataupun otoritas yang ada, bukannya menyelesaikan  masalah tapi malah menambah masalah.
 
Setelah kehilangan  lebih dari US$15 juta dalam satu kasus, kesehatan Clissold ambruk. Ia sadar  masalah di China tidak bisa dihadapi dengan cara Wall Street. Dalam proses  pemulihan sakit, ia bertekad akan kembali bertempur dalam the Chinese style,  untuk memenangkan kembali kendali perusahaan dengan strategi lokal. Di satu  pihak, Clissold menggambarkan tentang keserakahan, tipu muslihat, serta ambisi  untuk menang. Tapi di lain pihak, ini adalah tentang karakter manusia. Dan,  Clissold termasuk pengamat yang cukup sensitif, yang tidak terjebak dikotomi  hitam-putih, jahat-baik, dalam menggambarkan konflik yang dia hadapi.
 
Disadari atau tidak, itu semua adalah soal bertahan hidup di tengah transformasi  drastis di China. Dan, konflik-konflik yang dia hadapi jelas   memperlihatkan  strategi bertahan yang berbeda-beda. Bagi pembaca awam tentang China seperti  saya, meskipun akhirnya tidak semua pertempuran itu dimenangkan Clissold, namun  bukanlah hasil akhir itu yang terpenting, melainkan bagaimana cara Clissold  menyiasati resolusi konflik itu. Inilah yang paling penting dicermati bagi siapa  pun yang ingin melihat realitas bisnis di China.

Petualangan  Clissold dalam buku ini sangat menarik, karena bisa menggambarkan bagaimana sisi  lain dari kisah sukses China menguasai pasar dunia. Dalam buku ini, sang penulis  Tim Clissold menyajikan narasi yang bagus dan menghibur, dengan penghormatan  mendalam atas budaya, bahasa, dan sejarah China. Penggambaran itu sangat berguna  bagi pebisnis untuk   mendapatkan pelajaran bagaimana melakukan bisnis dalam iklim  yang semrawut, yang diperparah dengan perilaku birokrat yang menyebalkan.
 
Di sisi lain, membaca buku  ini akan menumbuhkan optimisme bahwa bukan mustahil  bila Indonesia akan bisa mencapai sukses yang telah dicapai China. Yang paling  penting, para pebisnis Indonesia mestilah menyiasati kultur dan tradisi  masyarakat Nusantara agar tak berbenturan dengan kaidah-kaidah bisnis modern ala  dunia Barat. Tentu saja dengan syarat adanya usaha serius dari semua pihak untuk  mewujudkannya.

Chaerul Arif adalah Pegiat Lembaga Kajian SINERGI Yogyakarta (LKSY)


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: