Chaerul Arif, Media Indonesia, Sabtu, 15 Desember 2007
China menjadi fenomena yang menarik sekaligus menakutkan bagi negara-negara di dunia, bahkan Amerika Serikat (AS) pun kawatir dengan perkembangan China. Dalam jangka waktu yang relatif singkat, China menjelma dari negara miskin menjadi salah satu pusat kekuatan kapitalisme global. Bahkan pertumbuhan ekonomi China tiga kali lebih cepat ketimbang AS.
Dalam kurun 25 tahun, China mampu memperbaiki perekonomiannya, sehinga banyak produknya membanjiri pasar internasional, mulai dari produk elektronik, produk kosmetik sampai obat-obatan.
Pada 1990-an, muncul gelombang baru di bidang perekonomian di China, dengan membuka diri terhadap investasi asing. Atas peluang itu, Wall Street turut ambil bagian dalam praktik bisnis di 'Negeri Tirai Bambu' tersebut. Ketika para bankir dari New York, yang kebanyakan bergelar MBA dari Universitas Harvard, siap negosiasi dengan para Kader Senior (China), panggung pun tercipta bagi berlangsungnya bentrokan serius antara dua kebudayaan yang berbeda. Sistem keuangan Wall Street berjibaku melawan salah satu kebudayaan tertua di dunia tersebut.
Di balik kesuksesan China, ternyata ada kisah tragis dari seorang bankir Wall Street yang mengalami kerugian besar dalam usahanya membangun kerajaan bisnis di sana. Penyebabnya, struktur sosial dan kultural China yang jadi acuan bagi lakon bisnis kaum tirai bambu tak bisa akur dengan kaidah-kaidah ekonomi negara Barat yang diterapkan sang bankir, yang mengira bisa menaklukkan China tanpa mengerti apa yang harus dilakukannya.
Dalam buku Mr. China ini, Tim Clissold menceritakan bagaimana susahnya memulai karir bisnis di China. Clissold sudah sembilan belas tahun tinggal dan bekerja di China, bahkan dia telah mengunjungi sebagian besar wilayah Negeri Tirai Bambu ini. Clissold sampai menyempatkan diri belajar bahasa China-Mandarin selama dua tahun sebelum akhirnya turut mendirikan sebuah "kelompok pemodal swasta" yang menanamkan sahamnya di China.
Menyusul perjalanan pertamanya ke China, pemuda Inggris ini melepaskan posisinya di sebuah konsultan besar di London untuk kembali ke Beijing dan belajar tentang China. Dua tahun kemudian, pemuda ini lebih fasih berbahasa dan tidak lagi buta tentang budaya China.
Dengan semangat baru, dia bertekat kembali ke China untuk memulai pertempuran dengan pola pikir yang baru. Memang tidak semua masalah dapat ia selesaikan dan tidak pula semua pertempuran ia menangkan. Tetapi pertempuran itu membawanya pada kesadaran baru tentang bagaimana berhubungan dan berbisnis di negara China. ia pun kembali ke pekerjaan lamanya untuk ditempatkan di Hong Kong. Eforia investasi ke China di awal 1990-an membuat para pemilik modal menumpuk jutaan dolar untuk 'dana-dana China' di Hong Kong tanpa tahu mau diapakan.
Pat, sang bankir investasi Wall Street, dan Ai Jian, mantan pejabat pemerintahan China, berupaya mempertemukan Clissold dengan kedua partner mereka untuk mencari proyek investasi. Dengan karisma dan pengalamannya di Wall Street, Pat mengumpulkan lebih dari 400 juta dolar dalam waktu singkat. Dalam kurun dua tahun, konsorsium ini berubah menjadi perusahaan dengan 20 bisnis dan lebih dari 25 ribu pegawai.
Naif terhadap realitas negara berkembang seperti China, Clissold dan kawan-kawan awalnya menggunakan kacamata Wall Street di China. Mereka bersandar pada cara-cara straightforward ala negara-negara Barat yang mengandalkan pada staf ahli asing, kontrak tertulis, dan tentu saja polisi serta sistem hukum. Namun, pada kenyataanya semua teknik yang mereka pelajari di negara maju itu impoten di China.
Maka, impian kejayaan pun berangsur-angsur berubah menjadi mimpi buruk. Problem muncul di mana-mana: mulai dari pekerja yang tidak mau memperbaiki etos kerja yang buruk, pembelanjaan anggaran seenaknya tanpa perhitungan, sampai penggelapan uang perusahaaan. Upaya menghadapi resistensi ini dengan cara Barat melalui polisi, pengadilan, ataupun otoritas yang ada, bukannya menyelesaikan masalah tapi malah menambah masalah.
Setelah kehilangan lebih dari US$15 juta dalam satu kasus, kesehatan Clissold ambruk. Ia sadar masalah di China tidak bisa dihadapi dengan cara Wall Street. Dalam proses pemulihan sakit, ia bertekad akan kembali bertempur dalam the Chinese style, untuk memenangkan kembali kendali perusahaan dengan strategi lokal. Di satu pihak, Clissold menggambarkan tentang keserakahan, tipu muslihat, serta ambisi untuk menang. Tapi di lain pihak, ini adalah tentang karakter manusia. Dan, Clissold termasuk pengamat yang cukup sensitif, yang tidak terjebak dikotomi hitam-putih, jahat-baik, dalam menggambarkan konflik yang dia hadapi.
Disadari atau tidak, itu semua adalah soal bertahan hidup di tengah transformasi drastis di China. Dan, konflik-konflik yang dia hadapi jelas memperlihatkan strategi bertahan yang berbeda-beda. Bagi pembaca awam tentang China seperti saya, meskipun akhirnya tidak semua pertempuran itu dimenangkan Clissold, namun bukanlah hasil akhir itu yang terpenting, melainkan bagaimana cara Clissold menyiasati resolusi konflik itu. Inilah yang paling penting dicermati bagi siapa pun yang ingin melihat realitas bisnis di China.
Petualangan Clissold dalam buku ini sangat menarik, karena bisa menggambarkan bagaimana sisi lain dari kisah sukses China menguasai pasar dunia. Dalam buku ini, sang penulis Tim Clissold menyajikan narasi yang bagus dan menghibur, dengan penghormatan mendalam atas budaya, bahasa, dan sejarah China. Penggambaran itu sangat berguna bagi pebisnis untuk mendapatkan pelajaran bagaimana melakukan bisnis dalam iklim yang semrawut, yang diperparah dengan perilaku birokrat yang menyebalkan.
Di sisi lain, membaca buku ini akan menumbuhkan optimisme bahwa bukan mustahil bila Indonesia akan bisa mencapai sukses yang telah dicapai China. Yang paling penting, para pebisnis Indonesia mestilah menyiasati kultur dan tradisi masyarakat Nusantara agar tak berbenturan dengan kaidah-kaidah bisnis modern ala dunia Barat. Tentu saja dengan syarat adanya usaha serius dari semua pihak untuk mewujudkannya.
Chaerul Arif adalah Pegiat Lembaga Kajian SINERGI Yogyakarta (LKSY)
China menjadi fenomena yang menarik sekaligus menakutkan bagi negara-negara di dunia, bahkan Amerika Serikat (AS) pun kawatir dengan perkembangan China. Dalam jangka waktu yang relatif singkat, China menjelma dari negara miskin menjadi salah satu pusat kekuatan kapitalisme global. Bahkan pertumbuhan ekonomi China tiga kali lebih cepat ketimbang AS.
Dalam kurun 25 tahun, China mampu memperbaiki perekonomiannya, sehinga banyak produknya membanjiri pasar internasional, mulai dari produk elektronik, produk kosmetik sampai obat-obatan.
Pada 1990-an, muncul gelombang baru di bidang perekonomian di China, dengan membuka diri terhadap investasi asing. Atas peluang itu, Wall Street turut ambil bagian dalam praktik bisnis di 'Negeri Tirai Bambu' tersebut. Ketika para bankir dari New York, yang kebanyakan bergelar MBA dari Universitas Harvard, siap negosiasi dengan para Kader Senior (China), panggung pun tercipta bagi berlangsungnya bentrokan serius antara dua kebudayaan yang berbeda. Sistem keuangan Wall Street berjibaku melawan salah satu kebudayaan tertua di dunia tersebut.
Di balik kesuksesan China, ternyata ada kisah tragis dari seorang bankir Wall Street yang mengalami kerugian besar dalam usahanya membangun kerajaan bisnis di sana. Penyebabnya, struktur sosial dan kultural China yang jadi acuan bagi lakon bisnis kaum tirai bambu tak bisa akur dengan kaidah-kaidah ekonomi negara Barat yang diterapkan sang bankir, yang mengira bisa menaklukkan China tanpa mengerti apa yang harus dilakukannya.
Dalam buku Mr. China ini, Tim Clissold menceritakan bagaimana susahnya memulai karir bisnis di China. Clissold sudah sembilan belas tahun tinggal dan bekerja di China, bahkan dia telah mengunjungi sebagian besar wilayah Negeri Tirai Bambu ini. Clissold sampai menyempatkan diri belajar bahasa China-Mandarin selama dua tahun sebelum akhirnya turut mendirikan sebuah "kelompok pemodal swasta" yang menanamkan sahamnya di China.
Menyusul perjalanan pertamanya ke China, pemuda Inggris ini melepaskan posisinya di sebuah konsultan besar di London untuk kembali ke Beijing dan belajar tentang China. Dua tahun kemudian, pemuda ini lebih fasih berbahasa dan tidak lagi buta tentang budaya China.
Dengan semangat baru, dia bertekat kembali ke China untuk memulai pertempuran dengan pola pikir yang baru. Memang tidak semua masalah dapat ia selesaikan dan tidak pula semua pertempuran ia menangkan. Tetapi pertempuran itu membawanya pada kesadaran baru tentang bagaimana berhubungan dan berbisnis di negara China. ia pun kembali ke pekerjaan lamanya untuk ditempatkan di Hong Kong. Eforia investasi ke China di awal 1990-an membuat para pemilik modal menumpuk jutaan dolar untuk 'dana-dana China' di Hong Kong tanpa tahu mau diapakan.
Pat, sang bankir investasi Wall Street, dan Ai Jian, mantan pejabat pemerintahan China, berupaya mempertemukan Clissold dengan kedua partner mereka untuk mencari proyek investasi. Dengan karisma dan pengalamannya di Wall Street, Pat mengumpulkan lebih dari 400 juta dolar dalam waktu singkat. Dalam kurun dua tahun, konsorsium ini berubah menjadi perusahaan dengan 20 bisnis dan lebih dari 25 ribu pegawai.
Naif terhadap realitas negara berkembang seperti China, Clissold dan kawan-kawan awalnya menggunakan kacamata Wall Street di China. Mereka bersandar pada cara-cara straightforward ala negara-negara Barat yang mengandalkan pada staf ahli asing, kontrak tertulis, dan tentu saja polisi serta sistem hukum. Namun, pada kenyataanya semua teknik yang mereka pelajari di negara maju itu impoten di China.
Maka, impian kejayaan pun berangsur-angsur berubah menjadi mimpi buruk. Problem muncul di mana-mana: mulai dari pekerja yang tidak mau memperbaiki etos kerja yang buruk, pembelanjaan anggaran seenaknya tanpa perhitungan, sampai penggelapan uang perusahaaan. Upaya menghadapi resistensi ini dengan cara Barat melalui polisi, pengadilan, ataupun otoritas yang ada, bukannya menyelesaikan masalah tapi malah menambah masalah.
Setelah kehilangan lebih dari US$15 juta dalam satu kasus, kesehatan Clissold ambruk. Ia sadar masalah di China tidak bisa dihadapi dengan cara Wall Street. Dalam proses pemulihan sakit, ia bertekad akan kembali bertempur dalam the Chinese style, untuk memenangkan kembali kendali perusahaan dengan strategi lokal. Di satu pihak, Clissold menggambarkan tentang keserakahan, tipu muslihat, serta ambisi untuk menang. Tapi di lain pihak, ini adalah tentang karakter manusia. Dan, Clissold termasuk pengamat yang cukup sensitif, yang tidak terjebak dikotomi hitam-putih, jahat-baik, dalam menggambarkan konflik yang dia hadapi.
Disadari atau tidak, itu semua adalah soal bertahan hidup di tengah transformasi drastis di China. Dan, konflik-konflik yang dia hadapi jelas memperlihatkan strategi bertahan yang berbeda-beda. Bagi pembaca awam tentang China seperti saya, meskipun akhirnya tidak semua pertempuran itu dimenangkan Clissold, namun bukanlah hasil akhir itu yang terpenting, melainkan bagaimana cara Clissold menyiasati resolusi konflik itu. Inilah yang paling penting dicermati bagi siapa pun yang ingin melihat realitas bisnis di China.
Petualangan Clissold dalam buku ini sangat menarik, karena bisa menggambarkan bagaimana sisi lain dari kisah sukses China menguasai pasar dunia. Dalam buku ini, sang penulis Tim Clissold menyajikan narasi yang bagus dan menghibur, dengan penghormatan mendalam atas budaya, bahasa, dan sejarah China. Penggambaran itu sangat berguna bagi pebisnis untuk mendapatkan pelajaran bagaimana melakukan bisnis dalam iklim yang semrawut, yang diperparah dengan perilaku birokrat yang menyebalkan.
Di sisi lain, membaca buku ini akan menumbuhkan optimisme bahwa bukan mustahil bila Indonesia akan bisa mencapai sukses yang telah dicapai China. Yang paling penting, para pebisnis Indonesia mestilah menyiasati kultur dan tradisi masyarakat Nusantara agar tak berbenturan dengan kaidah-kaidah bisnis modern ala dunia Barat. Tentu saja dengan syarat adanya usaha serius dari semua pihak untuk mewujudkannya.
Chaerul Arif adalah Pegiat Lembaga Kajian SINERGI Yogyakarta (LKSY)
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar