Selasa, 17 Februari 2009

[resensi buku] Lidah Gatal Sang Presiden

Ruang Baca Koran Tempo, 04 Desember 2008

Butet ndobos tentang segala hal. Bahasanya lumayan segar, tetapi polanya repetitif.
Sewaktu menjadi mahasiswa di Yogyakarta pada 1980-an, ada ritual hari Selasa yang saya jalani bersama kawan-kawan kuliah. Begitu pelajaran pertama selesai, kami turun ke lantai bawah untuk bergantian membaca koran Kedaulatan Rakyat yang dipajang di panel kaca.

Hari itu adalah harinya Umar Kayam alias Pak Ageng. Kolomnya nyaris tidak pernah tidak segar. Oleh sebab itu, jika karena satu dan lain sebab Pak Ageng absen, biasanya karena sakit, hari Selasa jadi kurang menghibur. Bisa dibayangkan rasa kehilangan pembaca kolom itu ketika Pak Ageng akhirnya pamit untuk selamanya pada 2002.



Lima tahun kemudian, kerinduan lama itu lumayan terpupus dengan hadirnya kolom Butet Kartaredjasa di koran Suara Merdeka. Kolom-kolom itu kini terbit dalam buku Presiden Guyonan. Penyebutan Umar Kayam di atas tak terelakkan karena Pak Agengisme menjelujur di tulisan Butet. Gaya penulisan, pemilihan bahasa compar-campur yang segar, maupun "dramaturginya" sangat "kekayam-kayaman". Bisa jadi pola ini disengaja Butet, bisa juga tidak. Yang pasti, kemiripan ini tak mengagetkan mengingat kedekatan Butet dengan Pak Ageng dan hampir semua seniman Yogyakarta memang anak rohani Umar Kayam.


Bila Umar Kayam menggunakan adegan Pak Ageng dan Mister Rigen, kepala staf rumah tangganya, sebagai sarana untuk ngrasani berbagai hal, Butet menggunakan gerejegan Mas Celathu versus Mbakyu Celathu untuk mengomentari, seringnya dengan nada mencela, aktor-aktor peristiwa aktual. Pokoknya, yang sedang "bermain di bibir" di pekan itulah yang ditulis Butet. Maka, Mas Celathu pun ndobos tanpa batas: dari jaksa yang suka "memajak dengan paksa", kegilaan pada anthurium, budaya kekerasan, sampai raja yang kebelet jadi presiden.



Beberapa kolom sangat tajam. Semisal "Tiga Shio" yang menceritakan diskriminasi ras. Ceritanya, Mas Celathu main-main ke negara tetangga. Di tempat itu ia menjumpai seorang wanita yang mengemis bersama bayinya. Rupanya, si peminta-minta itu pendatang dari Jawa. Memelasnya gaya mengemis si wanita tak menyusahkan hati Mas Celathu, malah ia geli sendiri ketika nada permohonan itu makin lama makin melodius. Ia baru kemropok begitu orang-orang yang diminta derma itu menunjuk si bayi dan berujar, "Kasihan, kecil-kecil sudah jadi orang Jawa." Telak, karena sikap ini sering kita tunjukkan kepada saudara sebangsa.


Secara umum, Butet lebih berhasil --lebih lucu --ketika ia bercerita tentang hal-hal yang ia alami langsung. Semisal ketika anak ragil Mas Celathu, Jeng Genit, yang tak pernah mencicipi kegayengan Orde Baru, menyesalkan keputusan Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan sehingga sekarang akibatnya listrik sering byar pet. " Oallahhh nduk...kowe ora ngerti, Menteri Penerangan dulu itu malah bikin semua gelap gulita," ujar Mas Celathu ("Menteri Penggelapan").


Namun, format yang menempatkan Mas Celathu sebagai komentator sosial menghadirkan persoalan: Butet jadi "bebas terpenjara". Di satu sisi, ia bebas ngoceh apa saja --salah satu kemewahan yang tak dimiliki Umar Kayam sewaktu itu --tetapi setiap minggunya ia "dipaksa" harus berkomentar dan mencari atau mencantelkan makna, yang tak jarang tak optimal, sehingga kurang segar. (Malah, saking bersemangat menjelas-jelaskan, buku Presiden ini menampilkan pemancing satu alinea sebelum tulisan utama, ditambah lagi dengan pembesaran font di kalimat-kalimat yang diangap penting.) Padahal, tidak usah begitu ya tidak apa-apa. Umar Kayam, misalnya, bisa nyaman-nyaman saja cerita tentang nasi goreng yang kebanyakan garam atau penjual ayam panggang dari Klaten dengan teriakan khasnya " penggeeeng...eyem!" Kadang-kadang dimaknai, seringkali tidak.


"Baju" Mas Celathu itulah yang memberatkan Butet. Terutama di kolom-kolom awal ketika Mas Celathu ini diceritakan sebagai orang lain (ada adegan Butet bertemu dengan Mas Celathu). Pada kolom-kolom yang lebih belakangan, ketika Mas Celathu tak lain adalah Butet sendiri, tulisan lebih personal dan lancar.


Satu hal lagi yang cukup mengganggu dari buku yang dicetak sangat bagus ini adalah penyuntingan yang kurang rapi. Aturan penulisan kata-kata yang dicetak miring tidak konsisten. Terdapat pula kesalahan penulisan seperti event-orgenizer, costumer, dan frustasi yang semestinya ditulis event organizer, customer, dan frustrasi.


Bagi saya, Butet lebih lunyu --bukan sekadar licin, melainkan juga berdaya bujuk --ketika ia menulis tanpa beban pitutur. Tulisannya tentang tongseng mercon (http://kabarbanana.multiply.com/photos/album/12/Tongseng_Mercon_Prajurit_Kraton_Butet_Kartaredjasa_), sate klatak, bungkus rokok, bahkan obituari Ateng sekalipun, terasa gurih. Dan, Butet punya persediaan segudang cerita beginian (Kalau suatu saat ketemu dia, minta ia bercerita tentang pengusaha Jakarta yang kaget dengan harga "aduhai" gudeg di Patangpuluhan.) Secara keseluruhan, perndobosan Mas Celathu sangat layak dikeploki. Membawakan humor di panggung itu sulit, menuangkan humor di tulisan lebih sulit lagi.

YUSI AVIANTO PAREANOM


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: