@h_tanzil, February 20, 2009
Lady Chatterley' Lover adalah roman sastra terkenal yang kini telah menjadi karya klasik dalam khazanah sastra dunia. Novel karya penulis Inggris D.H. Lawrence ini terbit pertama kalinya pada tahun 1928. Sadar bahwa novelnya tak mungkin diterbitkan di Inggris, maka Lawrence menerbitkannya sendiri di Florence, Italia. Novel ini menuai kontroversi karena deskripisi persetubuhan antara dua orang yang berbeda strata sosial begitu kentara dan bertaburan disepanjang novelnya. Hal yang saat itu masih dianggap tabu untuk diungkap secara eksplisit dalam sebuah karya sastra.
Beberapa pedagang buku di Inggris menolak novel ini dijual di toko-toko mereka. Sementara itu buku yang dikirimkan kepada para pemesan di AS sering disita oleh pihak otoritas bea cukai. Bahkan Presiden Eisenhower menganggapnya sebagai bacaan "dreadful".
Berbagai pelarangan justru semakin membuat novel ini laris manis. Di Eropa sendiri novel itu laku keras. Namun karena novel ini dianggap sebagai bacaan tidak senonoh dan sesuai dengan UU yang berlaku saat itu bahwa buku-buku yang dianggap tidak senonoh tidak akan dilindungi oleh UU hak cipta internasional, maka para pembajak dengan bebas mencuri teks novel ini dan mencetak ulang dengan harga yang lebih murah. Untuk melawan para pembajak Lawrence terpaksa menerbitkan edisi murah dalam bahasa Perancis.
Lawrence juga pernah ditawari oleh penerbit Inggris untuk membuat edisi baru dengan menghilangkan bagian-bagian yang menurut mereka tidak pantas. Untuk itu Lawrence ditawari imbalan yang besar. Tentu saja Lawrence menolaknya karena menurutnya dengan menghilangkan bagian-bagian yang dianggap tidak pantas malah akan membuat karyanya hancur.
Penerbit buku bergengsi di London, Penguin Books Limited, akhirnya menerbitkan novel itu secara utuh pada tahun 1960. Karena itu, penerbit tersebut diadili di Pengadilan Old Bailey, London. Sejumlah saksi memberikan pandangan yang mendukung novel ini. Akhirnya pengadilan secara resmi menilai dan memutuskan bahwa The Lady Chaterley's bukanlah karya pornografis. Penguin pun memenangi perkara dan buku tersebut secara utuh boleh beredar di Inggris. Semenjak itu novel ini dapat didistribusikan dan diterbitkan dengan bebas di berbagai negara tanpa khawatir dicap sebagai bacaan porno. Dan kini Berbagai kajian sastrawi dilakukan terhadap novel yang menarik perhatian pembaca popular dan juga mahasiswa sastra di berbagai belahan dunia.
Novel ini sendiri mengisahkan kisah cinta terlarang antara Connie dengan Olivers Mellors. Lady Chatterley adalah gelar yang diberikan pada Connie setelah ia menikah Cliiford Chatterley. Connie sendiri berasal dari keluarga kaya yang dibesarkan dalam pendidikan dan pergaulan modern keluarga Inggris pada saat itu. Sedangkan Clifford lahir dari keluarga bangsawan pemilik tambang batu bara di Travershall Inggris. Ia mengenyam pendidikan tinggi hingga ke Cambridge dan berdinas sebagai tentara saat PD I meletus. Malang nya setelah perang usai Clifford harus pulang dalam keadaan lumpuh. Dan mulailah Clifford menjalani hari-harinya bersama Connie di rumah besarnya di Wragby di sebagai seorang penulis. Pasca kelumpuhannya Cliford menjadi pribadi yang terluka. Ia harus terus berada diatas kursi roda mekanis yang bisa bergerak sendiri dengan menekan tombol-tombolnya. Clifford senantiasa sendirian. Ia seperti orang yang tersesat. Ia butuh Connie disampingnya untuk meyakinkan kalau dia tetap ada. Walau mereka selalu berdekatan, tubuh mereka menjadi asing satu sama lain. Mereka begitu intim, namun sama sekali tidak pernah bersentuhan. Connie merasa ia tak mendapatkan kehangatan dari suaminya.
Setelah dua tahun di Wragby dan menjalani hidup pengabdian pada suaminya, Connie merasa hidupnya bersama Clifford tidaklah bahagia. Walau hidup berkecukupan dan menikah dengan seorang bangsawan, ia tetap tidak bahagia dan merasa belum mendapat pemenuhan dalam hidup. Connie tahu bahwa dirinya akan hancur. Ia telah kehilangan dunia dan vitalitas masa mudanya yang pernah dia nikmati sebelum dia menikah.
Keterasingan, kesepian, bosan, hampa, dan perasaan tertindas oleh sikap patriakhi suaminya membuat dirinya tak bergairah dan mengalami kegelisahan yang semakin hari semakin memuncak. Ketika gelisah datang, ia berlari melintasi taman dan meninggalkan Clifford. Lari dari semua orang menuju hutan, tempat ia bisa melupakan semua kegelisahannya.
Dalam hutan itulah Connie bertemu dengan Oliver Mellors si penjaga hutan yang merupakan pegawai Clifford. Berawal dari ketika Connie ditugasi oleh Clifford untuk mengirimkan pesan pada Mellors akhirnya mereka kerap bertemu. Walau awalnya keduanya tak saling suka namun perasaan kesepian yang sama-sama mereka alami membuat mereka lambat laun saling mencintai dan membutuhkan. Bersama si penjaga hutan itulah akhirnya Connie menemukan kehangatan dan keteduhan batinnya.
Connie terperangkah di antara dua pria. Pada Clifford ia tetap melaksanakan kewajibannya sebagai istri, namun ia juga tetap menjalin hubungan cintanya dengan Mellors di hutan. Hubungan mereka berlanjut dengan aktifitas seks di pondok di tengah hutan di tempat kediaman Mellors hingga akhirnya Connie hamil. Bisa dibayangkan bagaimana sikap Clifford jika kelak mengetahui bahwa dirinya hamil karena perselingkuhannya dengan lelaki kelas bawah yang notabene pegawainya sendiri. Namun Connie tidak takut, ia memang menghendaki anak dan kehamilannya ini dijadikannya alasan bagi dirinya untuk meminta cerai dari Clifford. Clifford terguncang, namun ia menampik keinginan istrinya untuk bercerai dan menawarkan sebuah solusi yang dianggapnya terbaik.
Ada banyak hal yang menarik dari novel ini. Seperti yang menjadi kontroversi sejak novel ini diterbitkan, novel ini memang memiliki banyak deksrpisi erotis. Walau D.H. Lawrence membungkusnya dalam balutan kalimat-kalimat sastrawi namun tetap saja pembaca akan terbakar oleh deskripsi persetubuhan Connie dan Mellors. Mereka bercinta di pondok Mellors, di tengah hutan di bawah naungan hujan, bertelanjang di tengah hujan, bercinta di bawah pohon, dll. . Namun tentunya bukan maksud penulisnya hanya untuk sekedar menghadirkan kisah erotis tanpa makna.
Persetubuhan antara Connie dan Mellors bukan hanya sekedar pemuasan nafsu mereka semata, tetapi sebagai perwujudan kelegaan atas pribadi-pribadi yang terkukung. Hubungan seks diantara mereka melahirkan ketenangan sejati bagi Connie. Jadi tujuan seks dalam novel ini lebih pada penyembuhan dan bukan sekedar pemuasan nafsu. Walau seks yang mereka lakukan adalah hal yang terlarang namun seks membawa kelahiran kembali Connie dan Mellors untuk bisa membuka diri dan menapak kehidupan baru mereka.
Karakter-karakter yang dihidupkan oleh D.H. Lawrence dalam novel ini sangatlah menarik. Walau merupakan roman percintaan namun novel ini bukanlah novel yang mendayu-dayu dan cengeng. Hampir semua tokoh dalam novel ini mentransformasikan dirinya dari pribadi yang rapuh menjadi pribadi yang kuat dan melawan. Clifford, Connie, dan Mellors awalnya merupakan pribadi-pribadi yang tertutup, tersisih, dan kesepian, namun berbagai peristiwa telah merubahnya menjadi pribadi yang kuat dan penuh perlawanan. Contohnya adalah perlawanan terhadap tradisi dan pendobrakan sekat-sekat kelas yang dilakukan secara simbolis oleh perselingkuhan Connie danMellors.
Selain itu melalui novel ini kita juga dapat menangkap kritik sosial terhadap muramnya kehidupan di Inggris setelah perang di tahun 1920-an. Masyarakat terjebak ke dalam lapisan-lapisan kelas, industrialisasi mulai merasuk, dan uang menjadi senjata ampuh untuk pencapaian kekuasaan. Melalui tokoh Clifford, seorang berdarah biru dan tuan tanah pemilik tambang akan terungkap bagaimana sikap para bangsawan terhadap para pekerja tambang yang bagi mereka bukan lagi manusia seutuhnya melainkan hanya sekedar alat produksi untuk mengeruk keuntungan bagi usaha mereka.
Jadi novel ini bukanlah sekedar novel erotis semata seperti yang mungkin selama ini menjadi pendapat umum atas karya terkenal D.H. Lawrence ini . Ada banyak hal yang bisa dimaknai dalam kisah cinta Lady Chaterly. Michael Squares, editor Penguin Books menulis dalam kata pengantarnya bahwa Lawrence berusaha membangunkan dan mengarahkan rasa simpati para pembaca tanpa membuat novel ini menjadi sebuah kebosanan.
Salah satu yang ingin disampaikan oleh Lawrence dalam novel ini adalah upaya menyadarkan masyarakat atas dirinya sendiri, mempertanyakan berbagai asumsi yang telah mengakar dan membangkitkan sebuah kejujuran dan keberanian yang menantang. Karena itulah tampaknya karya yang telah berusia lebih dari 75 tahun ini masih relevan untuk terus dibaca dan dimaknai.
Bersyukur kini karya klasik ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dibanding edisi aslinya, novel terjemahannya ini tampak lebih gemuk karena penerbit memasukkan berbagai artikel tambahan baik di awal maupun akhir novel ini. Di bagian awal, pembaca akan disuguhkan dengan 4 buah artikel berupa Catatan untuk edisi Penguin, Kata Pengantar, dan Catatan Panjang dari Penulis yang menghabisi sekitar seratus halaman sebelum kita masuk dalam novelnya sendiri. Sedangkan di akhir novel masih ada tambahan berupa Riwayat Panjang D.H. Lawrence, dan Apendiks sebanyak 23 halaman.
Bagi para pemerhati sastra, artikel-artikel tambahan itu tentunya sangat bermanfaat, namun bagi pembaca awam mungkin menjadi tak terlalu bermanfat karena membaca artikel-artikel tersebut ternyata cukup melelahkan. Novel ini dicetak diatas kertas yang bagus sehingga terkesan mewah, nyaman dibaca, dan layak dikoleksi, namun konsekuensinya harga buku ini menjadi relatif mahal yang tentunya membuat calon pembeli berpikir ulang untuk membeli novel seharga 99 ribu ini.
Beberapa kesalahan cetak juga ditemui di novel ini. Dari segi terjemahan bisa dibilang baik, walau ada beberapa frasa yang saya anggap janggal namun tak sampai mengurangi kenikmatan saya membaca novel ini. Ada satu hal yang tidak konsisten dalam terjemahannya. Di cover belakang novel ini disebutkan Connie berselingkuh dengan penjaga kebun/tukang kebun, sementara di seluruh bagian novel ini, profesi Oliver Mellors tidak disebut sebagai tukang kebun melainkan penjaga hutan.
Namun bagaimanapun usaha untuk menerjemahkan novel klasik yang menggugah ini patut dihargai. Jika sebelumnya novel ini hanya dapat dibaca oleh para kalangan yang melek sastra dan fasih membaca dalam bahasa Inggris, kini novel ini dapat terbaca oleh kalangan yang lebih luas lagi. Semakin banyak karya sastra klasik yang diterjemahkan dan dapat dibaca oleh para pembaca di negeri ini tentunya akan lebih mendorong perkembangan dunia sastra kita lebih baik lagi. Semoga.
@h_tanzil
Lady Chatterley' Lover adalah roman sastra terkenal yang kini telah menjadi karya klasik dalam khazanah sastra dunia. Novel karya penulis Inggris D.H. Lawrence ini terbit pertama kalinya pada tahun 1928. Sadar bahwa novelnya tak mungkin diterbitkan di Inggris, maka Lawrence menerbitkannya sendiri di Florence, Italia. Novel ini menuai kontroversi karena deskripisi persetubuhan antara dua orang yang berbeda strata sosial begitu kentara dan bertaburan disepanjang novelnya. Hal yang saat itu masih dianggap tabu untuk diungkap secara eksplisit dalam sebuah karya sastra.
Beberapa pedagang buku di Inggris menolak novel ini dijual di toko-toko mereka. Sementara itu buku yang dikirimkan kepada para pemesan di AS sering disita oleh pihak otoritas bea cukai. Bahkan Presiden Eisenhower menganggapnya sebagai bacaan "dreadful".
Berbagai pelarangan justru semakin membuat novel ini laris manis. Di Eropa sendiri novel itu laku keras. Namun karena novel ini dianggap sebagai bacaan tidak senonoh dan sesuai dengan UU yang berlaku saat itu bahwa buku-buku yang dianggap tidak senonoh tidak akan dilindungi oleh UU hak cipta internasional, maka para pembajak dengan bebas mencuri teks novel ini dan mencetak ulang dengan harga yang lebih murah. Untuk melawan para pembajak Lawrence terpaksa menerbitkan edisi murah dalam bahasa Perancis.
Lawrence juga pernah ditawari oleh penerbit Inggris untuk membuat edisi baru dengan menghilangkan bagian-bagian yang menurut mereka tidak pantas. Untuk itu Lawrence ditawari imbalan yang besar. Tentu saja Lawrence menolaknya karena menurutnya dengan menghilangkan bagian-bagian yang dianggap tidak pantas malah akan membuat karyanya hancur.
Penerbit buku bergengsi di London, Penguin Books Limited, akhirnya menerbitkan novel itu secara utuh pada tahun 1960. Karena itu, penerbit tersebut diadili di Pengadilan Old Bailey, London. Sejumlah saksi memberikan pandangan yang mendukung novel ini. Akhirnya pengadilan secara resmi menilai dan memutuskan bahwa The Lady Chaterley's bukanlah karya pornografis. Penguin pun memenangi perkara dan buku tersebut secara utuh boleh beredar di Inggris. Semenjak itu novel ini dapat didistribusikan dan diterbitkan dengan bebas di berbagai negara tanpa khawatir dicap sebagai bacaan porno. Dan kini Berbagai kajian sastrawi dilakukan terhadap novel yang menarik perhatian pembaca popular dan juga mahasiswa sastra di berbagai belahan dunia.
Novel ini sendiri mengisahkan kisah cinta terlarang antara Connie dengan Olivers Mellors. Lady Chatterley adalah gelar yang diberikan pada Connie setelah ia menikah Cliiford Chatterley. Connie sendiri berasal dari keluarga kaya yang dibesarkan dalam pendidikan dan pergaulan modern keluarga Inggris pada saat itu. Sedangkan Clifford lahir dari keluarga bangsawan pemilik tambang batu bara di Travershall Inggris. Ia mengenyam pendidikan tinggi hingga ke Cambridge dan berdinas sebagai tentara saat PD I meletus. Malang nya setelah perang usai Clifford harus pulang dalam keadaan lumpuh. Dan mulailah Clifford menjalani hari-harinya bersama Connie di rumah besarnya di Wragby di sebagai seorang penulis. Pasca kelumpuhannya Cliford menjadi pribadi yang terluka. Ia harus terus berada diatas kursi roda mekanis yang bisa bergerak sendiri dengan menekan tombol-tombolnya. Clifford senantiasa sendirian. Ia seperti orang yang tersesat. Ia butuh Connie disampingnya untuk meyakinkan kalau dia tetap ada. Walau mereka selalu berdekatan, tubuh mereka menjadi asing satu sama lain. Mereka begitu intim, namun sama sekali tidak pernah bersentuhan. Connie merasa ia tak mendapatkan kehangatan dari suaminya.
Setelah dua tahun di Wragby dan menjalani hidup pengabdian pada suaminya, Connie merasa hidupnya bersama Clifford tidaklah bahagia. Walau hidup berkecukupan dan menikah dengan seorang bangsawan, ia tetap tidak bahagia dan merasa belum mendapat pemenuhan dalam hidup. Connie tahu bahwa dirinya akan hancur. Ia telah kehilangan dunia dan vitalitas masa mudanya yang pernah dia nikmati sebelum dia menikah.
Keterasingan, kesepian, bosan, hampa, dan perasaan tertindas oleh sikap patriakhi suaminya membuat dirinya tak bergairah dan mengalami kegelisahan yang semakin hari semakin memuncak. Ketika gelisah datang, ia berlari melintasi taman dan meninggalkan Clifford. Lari dari semua orang menuju hutan, tempat ia bisa melupakan semua kegelisahannya.
Dalam hutan itulah Connie bertemu dengan Oliver Mellors si penjaga hutan yang merupakan pegawai Clifford. Berawal dari ketika Connie ditugasi oleh Clifford untuk mengirimkan pesan pada Mellors akhirnya mereka kerap bertemu. Walau awalnya keduanya tak saling suka namun perasaan kesepian yang sama-sama mereka alami membuat mereka lambat laun saling mencintai dan membutuhkan. Bersama si penjaga hutan itulah akhirnya Connie menemukan kehangatan dan keteduhan batinnya.
Connie terperangkah di antara dua pria. Pada Clifford ia tetap melaksanakan kewajibannya sebagai istri, namun ia juga tetap menjalin hubungan cintanya dengan Mellors di hutan. Hubungan mereka berlanjut dengan aktifitas seks di pondok di tengah hutan di tempat kediaman Mellors hingga akhirnya Connie hamil. Bisa dibayangkan bagaimana sikap Clifford jika kelak mengetahui bahwa dirinya hamil karena perselingkuhannya dengan lelaki kelas bawah yang notabene pegawainya sendiri. Namun Connie tidak takut, ia memang menghendaki anak dan kehamilannya ini dijadikannya alasan bagi dirinya untuk meminta cerai dari Clifford. Clifford terguncang, namun ia menampik keinginan istrinya untuk bercerai dan menawarkan sebuah solusi yang dianggapnya terbaik.
Ada banyak hal yang menarik dari novel ini. Seperti yang menjadi kontroversi sejak novel ini diterbitkan, novel ini memang memiliki banyak deksrpisi erotis. Walau D.H. Lawrence membungkusnya dalam balutan kalimat-kalimat sastrawi namun tetap saja pembaca akan terbakar oleh deskripsi persetubuhan Connie dan Mellors. Mereka bercinta di pondok Mellors, di tengah hutan di bawah naungan hujan, bertelanjang di tengah hujan, bercinta di bawah pohon, dll. . Namun tentunya bukan maksud penulisnya hanya untuk sekedar menghadirkan kisah erotis tanpa makna.
Persetubuhan antara Connie dan Mellors bukan hanya sekedar pemuasan nafsu mereka semata, tetapi sebagai perwujudan kelegaan atas pribadi-pribadi yang terkukung. Hubungan seks diantara mereka melahirkan ketenangan sejati bagi Connie. Jadi tujuan seks dalam novel ini lebih pada penyembuhan dan bukan sekedar pemuasan nafsu. Walau seks yang mereka lakukan adalah hal yang terlarang namun seks membawa kelahiran kembali Connie dan Mellors untuk bisa membuka diri dan menapak kehidupan baru mereka.
Karakter-karakter yang dihidupkan oleh D.H. Lawrence dalam novel ini sangatlah menarik. Walau merupakan roman percintaan namun novel ini bukanlah novel yang mendayu-dayu dan cengeng. Hampir semua tokoh dalam novel ini mentransformasikan dirinya dari pribadi yang rapuh menjadi pribadi yang kuat dan melawan. Clifford, Connie, dan Mellors awalnya merupakan pribadi-pribadi yang tertutup, tersisih, dan kesepian, namun berbagai peristiwa telah merubahnya menjadi pribadi yang kuat dan penuh perlawanan. Contohnya adalah perlawanan terhadap tradisi dan pendobrakan sekat-sekat kelas yang dilakukan secara simbolis oleh perselingkuhan Connie danMellors.
Selain itu melalui novel ini kita juga dapat menangkap kritik sosial terhadap muramnya kehidupan di Inggris setelah perang di tahun 1920-an. Masyarakat terjebak ke dalam lapisan-lapisan kelas, industrialisasi mulai merasuk, dan uang menjadi senjata ampuh untuk pencapaian kekuasaan. Melalui tokoh Clifford, seorang berdarah biru dan tuan tanah pemilik tambang akan terungkap bagaimana sikap para bangsawan terhadap para pekerja tambang yang bagi mereka bukan lagi manusia seutuhnya melainkan hanya sekedar alat produksi untuk mengeruk keuntungan bagi usaha mereka.
Jadi novel ini bukanlah sekedar novel erotis semata seperti yang mungkin selama ini menjadi pendapat umum atas karya terkenal D.H. Lawrence ini . Ada banyak hal yang bisa dimaknai dalam kisah cinta Lady Chaterly. Michael Squares, editor Penguin Books menulis dalam kata pengantarnya bahwa Lawrence berusaha membangunkan dan mengarahkan rasa simpati para pembaca tanpa membuat novel ini menjadi sebuah kebosanan.
Salah satu yang ingin disampaikan oleh Lawrence dalam novel ini adalah upaya menyadarkan masyarakat atas dirinya sendiri, mempertanyakan berbagai asumsi yang telah mengakar dan membangkitkan sebuah kejujuran dan keberanian yang menantang. Karena itulah tampaknya karya yang telah berusia lebih dari 75 tahun ini masih relevan untuk terus dibaca dan dimaknai.
Bersyukur kini karya klasik ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dibanding edisi aslinya, novel terjemahannya ini tampak lebih gemuk karena penerbit memasukkan berbagai artikel tambahan baik di awal maupun akhir novel ini. Di bagian awal, pembaca akan disuguhkan dengan 4 buah artikel berupa Catatan untuk edisi Penguin, Kata Pengantar, dan Catatan Panjang dari Penulis yang menghabisi sekitar seratus halaman sebelum kita masuk dalam novelnya sendiri. Sedangkan di akhir novel masih ada tambahan berupa Riwayat Panjang D.H. Lawrence, dan Apendiks sebanyak 23 halaman.
Bagi para pemerhati sastra, artikel-artikel tambahan itu tentunya sangat bermanfaat, namun bagi pembaca awam mungkin menjadi tak terlalu bermanfat karena membaca artikel-artikel tersebut ternyata cukup melelahkan. Novel ini dicetak diatas kertas yang bagus sehingga terkesan mewah, nyaman dibaca, dan layak dikoleksi, namun konsekuensinya harga buku ini menjadi relatif mahal yang tentunya membuat calon pembeli berpikir ulang untuk membeli novel seharga 99 ribu ini.
Beberapa kesalahan cetak juga ditemui di novel ini. Dari segi terjemahan bisa dibilang baik, walau ada beberapa frasa yang saya anggap janggal namun tak sampai mengurangi kenikmatan saya membaca novel ini. Ada satu hal yang tidak konsisten dalam terjemahannya. Di cover belakang novel ini disebutkan Connie berselingkuh dengan penjaga kebun/tukang kebun, sementara di seluruh bagian novel ini, profesi Oliver Mellors tidak disebut sebagai tukang kebun melainkan penjaga hutan.
Namun bagaimanapun usaha untuk menerjemahkan novel klasik yang menggugah ini patut dihargai. Jika sebelumnya novel ini hanya dapat dibaca oleh para kalangan yang melek sastra dan fasih membaca dalam bahasa Inggris, kini novel ini dapat terbaca oleh kalangan yang lebih luas lagi. Semakin banyak karya sastra klasik yang diterjemahkan dan dapat dibaca oleh para pembaca di negeri ini tentunya akan lebih mendorong perkembangan dunia sastra kita lebih baik lagi. Semoga.
@h_tanzil
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar