Kamis, 19 Februari 2009

[resensi buku] Kreativitas Humor yang Serius

Ruang Baca Koran Tempo, 31 Agustus 2008

 


Konon, bidang sastra yang sangat sulit ialah cerita humor. Alasannya, tentu saja, membuat orang lain tertawa adalah pekerjaan yang tak mudah. Maka, jangan heran kalau para pelawak kontemporer kita cenderung monoton dalam menyajikan cerita humor. Mungkin karena mereka malas menelusuri seluk-beluk kehidupan yang mahaluas hingga lawakan yang kita dapatkan hanya seputar pelesetan kata, seks, dan cercaan fisik atau nonfisik. Semua memang bisa menghibur, tapi apakah cerita humor hanya sekadar melandaskan diri pada semangat mencari kesenangan?


Setelah membaca buku pertama karya Pidi Baiq berjudul Drunken Monster (DAR!Mizan, Januari 2008), anggapan saya tentang cerita humor berubah. Cerita humor pun memiliki peluang yang amat besar untuk dijadikan bahan refleksi. Bahkan, dalam buku kedua yang ditulisnya, Pidi Baiq seolah ingin membuktikan bahwa humor yang tak hambar hanya bisa diwujudkan melalui telusuran kreativitas nan tiada henti.


Saya bisa pastikan bahwa isi cerita humor Pidi dalam Drunken Molen benar-benar berbeda dari Drunken Monster. Walau, tentu saja, teknik penceritaan Pidi masih sama, yaitu ia bercerita dengan format catatan harian. 'Anak ruhani' kedua yang dilahirkannya itu lebih disesaki tafsir filosofis yang mampu menggigit kesadaran pembaca.


Pernahkah Anda mengisi teka-teki silang sebelum membaca pertanyaannya? Kalau belum, tengok cerita Pidi di TTS Kebut (hlm.73-79). Jamak mafhum bahwa mengisi teka-teki silang (TTS) ialah satu kegiatan yang bisa dilakukan untuk mengurangi kepenatan saat menunggu. Namun kita kerap lupa bahwa TTS hanyalah permainan. Kita terbawa emosi sampai berkerut kening saat mengisinya. Tapi Pidi Baiq tidak demikian. Ia mengisi kotak TTS sampai selesai, kemudian barulah membaca pertanyaannya. 'Ide gila' ini ternyata seru dan tujuan mengisi TTS benar-benar tercapai: kepenatan bisa menipis perlahan.


Cerita-cerita besutan Pidi Baiq sangatlah liar. Ia bisa ke sana-sini hingga kita bisa mendapatkan begitu banyak makna dari suatu cerita. Anda geram dengan perilaku pengendara mobil/motor yang sering ngebut di jalanan? Masih dari cerita TTS Kebut, sindiran Pidi terhadap perilaku ngebut di jalanan sangatlah lucu. Ketika sepeda motor yang dikendarai Pidi dan Dayat didahului oleh pengendara yang lain, ia hanya bilang: "Ngebut karena dia malu. Sengaja ngebut biar nggak kelihatan orang!\"


Pidi Baiq dalam keseharian memang dikenal sebagai sosok yang usil. Ia kerap menjebak orang lain dengan kreativitas humor yang dimilikinya. Suatu pagi, Pidi bersama dua anaknya (Timur dan Bebe) membeli kupat tahu. Terlihat olehnya tiga orang kuli jalanan yang sedang mengaso di trotoar. Ketiga kuli itu dia ajak berbincang dan Pidi memberi mereka uang sepuluh ribu rupiah. Kemudian, Pidi mengajak mereka ke tukang cukur. Inilah alasan Pidi, yang juga terdengar bagai pleidoi atas kebiasaan usilnya: "Saya cuma ingin kasih bapak uang, ingin lihat bapak rapi. Dan saya, biarkan saya punya cara sendiri untuk memberinya."


Dengan memahami dan memaknai cerita-cerita Pidi yang berkebiasaan usil, kita diajak untuk memberi makna yang lain dari kata jebakan. Selama ini, jebakan terlampau dimaknai secara peyoratif. Jebakan dianggap merugikan pihak yang terjebak. Padahal, dalam kegiatan menjebak, kita bisa mengetahui sifat asali manusia. Jika manusia itu baik, saat dijebak pun tak akan terjadi apa-apa. Lain hal jika menjebak "si manusia bersifat buruk", segala kebobrokan akan menimpanya --misal para pesakitan yang diseret ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Jadi yang baik atau buruk adalah manusia, bukan jebakan.


Pidi kerap menjebak pembaca melalui cerita-ceritanya. Misalnya, pembaca seolah mengetahui bahwa yang berkata "Iya" dalam suatu dialog adalah Pidi sendiri tapi nyatanya si pengucap adalah seorang tamu yang tengah asyik ngerumpi bersama Rosi, istri Pidi (hlm.145-147).


Pidi Baiq tampaknya memiliki "semangat membobol kebakuan" dalam berkarya. Pertama, tentu saja kebakuan berbahasa tulis. Para ahli bahasa sudah merumuskan bahwa bahasa memiliki perbedaan pada bentuk tulis dan ucap. Padahal, sebelum ditemukan tulisan, komunikasi manusia menggunakan suara yang bersumber dari mulut pemberian Tuhan. Cerita-cerita yang ditulis Pidi seolah ingin bertanya, haruskah ada pembedaan antara yang tertulis dan terucap.


Kedua, dalam cerita sastra, khalayak memahami bahwa harus tersedia tema, plot, dan alur yang jelas. Namun hal macam itu tidak akan ditemukan dalam cerita besutan Pidi. Ia seperti sedang melakukan penjebolan terhadap dinding sastra yang beku dan baku itu. Teknik bercerita tak sesuai pakem sastra inilah yang kiranya membuat Jaya Suprana berujar: "Gaya tulisan Pidi Baiq tergolong supersonik... Juga pilihan (atau mungkin tidak dipilih?) tema-tema tulisannya benar-benar lincah tak terbelenggu oleh apapun" (hlm.15).


Ketika Pidi dan saya bertemu pada April 2008 di Bandung, ia sempat mengatakan bahwa seseorang harus berkarya dengan prinsip "manunggaling kawulo karya". Itulah sebabnya Pidi tak pernah memakai tokoh fiktif dalam tiap ceritanya.


Di tengah kehambaran cerita humor yang berseliweran di sekitar kita, Pidi memang seolah menggaungkan lagi pernyataan Arwah Setiawan (Pendiri Lembaga Bantuan Humor Indonesia), yakni "Humor itu serius". Inilah pula potensi semangat humor dan kreativitas yang ditawarkan Pidi pada 'sastra humor' Indonesia.


Denny Ardiansyah, Pengelola Rumah Baca Tanpa Titik (Macapat) di Jember, Jawa Timur, juga menjadi peneliti kebudayaan di SoSADem (Society of Sociological Analitic for Democracy)


www.dinamikaebooks.com

1 komentar:

kangazi mengatakan...

salam kenal aja ...
kayaknya cukup menarik neh ...!