KISAH manusia menjadi historikal justru ketika tidak lazim dan penuh dengan peristiwa dramatik, baik secara fisik maupun psikis. Banyak tokoh besar yang memiliki sejumlah pengalaman luar biasa, terutama serangkaian penderitaan yang terkadang menyisakan semacam traumatik, dan disertai perjalanan penuh kandungan survival, setelah tak hayat lagi, ia menjadi ikon sejarah. Saya merasa berulang kali terkejut oleh setiap kenyataan (fiksi) yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel Perempuan Batu karya Tariq Ali . Nilofer, tokoh utama novel ini, menjadi narator. Namun Tariq Ali tidak hanya menceritakan novel berlatar waktu abad ke-19 ini dari sudut pandang Nilofer, melainkan jauh melampaui titik pandang orang pertama, yang sanggup menggali perasaan-perasaan tokoh lainnya secara detail.
Novel dibuka dengan kepulangan Nilofer ke rumah orang tuanya dari pelariannya sepanjang 9 tahun. Ia telah memilih Dmitri, seorang guru yang puisi-puisinya pernah memesona perasaannya, untuk kawin lari. Nilofer, sebagai salah satu anggota keluarga besar keturunan Yusuf Pasha, bermaksud mempertemukan Orhan, anak lelakinya, dengan sang kakek Iskander Pasha. Pada rangkaian pertemuan itu, Iskander Pasha mengalami stroke hingga membuatnya tak bisa bicara. Pasha adalah sebuah keluarga dengan riwayat panjang yang masing-masing anggota keluarganya memiliki pengalaman luar biasa. Pada saat kisah ini diceritakan, ada semacam momentum rekonsiliasi antar-anggota keluarga, waktu dan tempat tercurahnya pelbagai rahasia yang selama bertahun-tahun menghuni setiap hati yang mengalami. Ini menjadi semacam titik balik sejak diusirnya Yusuf Pasha oleh Sultan Istanbul, sebagai sahabat sekaligus mantan duta besar, sekitar dua ratus tahun sebelumnya.
Siapakah \"perempuan batu\" dalam cerita ini? Tentu berbeda dengan julukan Wanita Besi bagi Margaret Tatcher, mantan perdana menteri Inggris yang bersikap tegas dan bekerja keras untuk sebuah idealisme. Perempuan Batu dalam novel ini merupakan nama harafiah bagi sebuah patung tua yang terbuat dari batu. Ia bukan Dewi Aphrodite atau Athena yang cantik cemerlang, namun kedudukannya bagi keluarga Pasha menjadi sangat penting. Perempuan Batu \\\'berperan\\\' seperti pastor dalam tradisi gereja, sebagai wahana pengakuan dosa. Atau ibarat psikolog yang bersedia mendengar setiap keluhan pasiennya demi sebuah terapi kesembuhan. Bahkan mungkin menjadi semacam lembar-lembar buku harian yang akan menampung segala curahan perasaan pemiliknya. Andai patung hitam itu mampu mendengar, niscaya ia mempunyai ribuan kisah manusia turun-temurun, yang layak ditulis dalam berjuta halaman kitab. Melalui medium Perempuan Batu yang membisu, Tariq Ali menjalin cerita dengan sangat menarik. Ia kadang melakukan flash-back, atau mengungkap sebuah rahasia seorang tokoh yang membuat pembaca (saya) terhenyak. Satu per satu fakta terbongkar, secara bertahap, bab demi bab, dan kita seolah mewakili perasaan sang tokoh: ingin menolak, sulit percaya, namun tak mungkin ingkar. Melalui alur persitiwa yang saling berkesinambungan secara emosional, kita akan tahu: siapa sesungguhnya Nilofer? Zakiye? Selim? Selama ini seluruh rahasia tertimbun oleh bentangan jarak dan waktu yang memisahkan mereka masing-masing.
Membaca novel Perempuan Batu, saya sadar, bahwa dalam lingkungan kehidupan keluarga ningrat selalu ada aib tersembunyi. Senantiasa terdapat hubungan rahasia yang sengaja ditutup rapat demi keagungan citra darah biru. Betapa sesungguhnya silang-sengkarut keturunan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rasa pongah di satu sisi dan kegetiran di sisi lain. Pada setiap peradaban, ternyata ada garis yang lepas ketika darah biru tercecer di luar istana atau sebaliknya, yang merasa separuh hidupnya menjadi sang ningrat ternyata titisan kaum jelata. Kembali lagi, bahwa cinta pada hati manusia sanggup menembus dinding pembatas itu. Seseorang rela melakukan apa pun demi kebahagiaan yang meski berlangsung singkat, namun menjadi kekayaan batin yang tak terjamah oleh pihak-pihak yang menggunakan kekuasannya untuk merebut raganya.
Pantas jika jalinan cerita ini, dengan problematika yang silih-berganti, menyerupai kisah Seribu Satu Malam. Membuka halaman demi halaman dengan rasa ingin tahu yang mendesak, dengan keahliannya, pengarang kelahiran Pakistan ini membawa pembaca pada lapis-lapis rahasia yang terungkap melalui pelbagai cara , sengaja atau tak sengaja. Spirit yang tak bisa lepas dari kesan hikayat klasik itu terbentuk karena latar ruang dari novel ini berada di wilayah yang eksotik: Turki. Sebagai aktivis dan editor jurnal politik The New Left Review, Tariq Ali patut menjadi novelis yang sangat memahami jejak peradaban Islam. Melalui novel tetraloginya, ia memilih setting yang yang jarang diambil pengarang lain, menggambarkan saat-saat kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah.
Sesungguhnya, tanpa maksud membuat pembaca terangsang, novel ini mengandung banyak erotisme yang terlahir dengan sendirinya karena perilaku tokoh-tokohnya. Ada alasan yang kuat untuk itu, dan membuat kita sadar, bahwa gairah asmara yang membara memang milik dan hak setiap insan di saat mereka berada pada ruang-ruang privat. Namun percintaan sejati antara pria dan wanita yang dibuktikan dengan persetubuhan, hampir selalu berakhir dengan kehancuran hati. Nasib bagi mereka seolah selaput rentan yang mudah robek dan tangan takdir membuatnya tak berdaya. Atau ibarat puzzle, selalu dibuat berantakan untuk kemudian dipasang kembali namun dengan gambar yang berbeda. Dari serabut peristiwa yang saling berkelindan, yang melibatkan ego patriarki, pandangan politik, feodalisme (kepatuhan si lemah terhadap si kuat), kepercayaan terhadap genetikal, dan intrik yang dilandasi rasa cemburu, membuat cerita ini kaya dengan problematika. Karakter setiap tokoh begitu kuat dibangun dengan cara masing-masing menyikapi persoalan.
Seperti disampaikan oleh penerbitnya, Serambi, Perempuan Batu adalah satu dari tetralogi Tariq Ali (setelah Kitab Salahuddin dan Bayang-bayang Pohon Delima , keduanya terbit tahun 2006). Kehadirannya semakin memperkaya novel-novel berlatar sejarah (Islam) dalam khazanah susastra (terjemahan) Indonesia . Setidaknya, melalui Perempuan Batu, saya tidak terjebak pada satu sudut pandang budaya Islam dalam pemahamannya terhadap Allah. Kehidupan para darwis di masa itu terasa unik, karena memiliki cara tersendiri dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya, melalui jalan ekstase, dan... erotisisme.[]
Kurnia Effendi, pecinta sastra
Sumber: Azzikra edisi Juni 2006
Novel dibuka dengan kepulangan Nilofer ke rumah orang tuanya dari pelariannya sepanjang 9 tahun. Ia telah memilih Dmitri, seorang guru yang puisi-puisinya pernah memesona perasaannya, untuk kawin lari. Nilofer, sebagai salah satu anggota keluarga besar keturunan Yusuf Pasha, bermaksud mempertemukan Orhan, anak lelakinya, dengan sang kakek Iskander Pasha. Pada rangkaian pertemuan itu, Iskander Pasha mengalami stroke hingga membuatnya tak bisa bicara. Pasha adalah sebuah keluarga dengan riwayat panjang yang masing-masing anggota keluarganya memiliki pengalaman luar biasa. Pada saat kisah ini diceritakan, ada semacam momentum rekonsiliasi antar-anggota keluarga, waktu dan tempat tercurahnya pelbagai rahasia yang selama bertahun-tahun menghuni setiap hati yang mengalami. Ini menjadi semacam titik balik sejak diusirnya Yusuf Pasha oleh Sultan Istanbul, sebagai sahabat sekaligus mantan duta besar, sekitar dua ratus tahun sebelumnya.
Siapakah \"perempuan batu\" dalam cerita ini? Tentu berbeda dengan julukan Wanita Besi bagi Margaret Tatcher, mantan perdana menteri Inggris yang bersikap tegas dan bekerja keras untuk sebuah idealisme. Perempuan Batu dalam novel ini merupakan nama harafiah bagi sebuah patung tua yang terbuat dari batu. Ia bukan Dewi Aphrodite atau Athena yang cantik cemerlang, namun kedudukannya bagi keluarga Pasha menjadi sangat penting. Perempuan Batu \\\'berperan\\\' seperti pastor dalam tradisi gereja, sebagai wahana pengakuan dosa. Atau ibarat psikolog yang bersedia mendengar setiap keluhan pasiennya demi sebuah terapi kesembuhan. Bahkan mungkin menjadi semacam lembar-lembar buku harian yang akan menampung segala curahan perasaan pemiliknya. Andai patung hitam itu mampu mendengar, niscaya ia mempunyai ribuan kisah manusia turun-temurun, yang layak ditulis dalam berjuta halaman kitab. Melalui medium Perempuan Batu yang membisu, Tariq Ali menjalin cerita dengan sangat menarik. Ia kadang melakukan flash-back, atau mengungkap sebuah rahasia seorang tokoh yang membuat pembaca (saya) terhenyak. Satu per satu fakta terbongkar, secara bertahap, bab demi bab, dan kita seolah mewakili perasaan sang tokoh: ingin menolak, sulit percaya, namun tak mungkin ingkar. Melalui alur persitiwa yang saling berkesinambungan secara emosional, kita akan tahu: siapa sesungguhnya Nilofer? Zakiye? Selim? Selama ini seluruh rahasia tertimbun oleh bentangan jarak dan waktu yang memisahkan mereka masing-masing.
Membaca novel Perempuan Batu, saya sadar, bahwa dalam lingkungan kehidupan keluarga ningrat selalu ada aib tersembunyi. Senantiasa terdapat hubungan rahasia yang sengaja ditutup rapat demi keagungan citra darah biru. Betapa sesungguhnya silang-sengkarut keturunan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rasa pongah di satu sisi dan kegetiran di sisi lain. Pada setiap peradaban, ternyata ada garis yang lepas ketika darah biru tercecer di luar istana atau sebaliknya, yang merasa separuh hidupnya menjadi sang ningrat ternyata titisan kaum jelata. Kembali lagi, bahwa cinta pada hati manusia sanggup menembus dinding pembatas itu. Seseorang rela melakukan apa pun demi kebahagiaan yang meski berlangsung singkat, namun menjadi kekayaan batin yang tak terjamah oleh pihak-pihak yang menggunakan kekuasannya untuk merebut raganya.
Pantas jika jalinan cerita ini, dengan problematika yang silih-berganti, menyerupai kisah Seribu Satu Malam. Membuka halaman demi halaman dengan rasa ingin tahu yang mendesak, dengan keahliannya, pengarang kelahiran Pakistan ini membawa pembaca pada lapis-lapis rahasia yang terungkap melalui pelbagai cara , sengaja atau tak sengaja. Spirit yang tak bisa lepas dari kesan hikayat klasik itu terbentuk karena latar ruang dari novel ini berada di wilayah yang eksotik: Turki. Sebagai aktivis dan editor jurnal politik The New Left Review, Tariq Ali patut menjadi novelis yang sangat memahami jejak peradaban Islam. Melalui novel tetraloginya, ia memilih setting yang yang jarang diambil pengarang lain, menggambarkan saat-saat kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah.
Sesungguhnya, tanpa maksud membuat pembaca terangsang, novel ini mengandung banyak erotisme yang terlahir dengan sendirinya karena perilaku tokoh-tokohnya. Ada alasan yang kuat untuk itu, dan membuat kita sadar, bahwa gairah asmara yang membara memang milik dan hak setiap insan di saat mereka berada pada ruang-ruang privat. Namun percintaan sejati antara pria dan wanita yang dibuktikan dengan persetubuhan, hampir selalu berakhir dengan kehancuran hati. Nasib bagi mereka seolah selaput rentan yang mudah robek dan tangan takdir membuatnya tak berdaya. Atau ibarat puzzle, selalu dibuat berantakan untuk kemudian dipasang kembali namun dengan gambar yang berbeda. Dari serabut peristiwa yang saling berkelindan, yang melibatkan ego patriarki, pandangan politik, feodalisme (kepatuhan si lemah terhadap si kuat), kepercayaan terhadap genetikal, dan intrik yang dilandasi rasa cemburu, membuat cerita ini kaya dengan problematika. Karakter setiap tokoh begitu kuat dibangun dengan cara masing-masing menyikapi persoalan.
Seperti disampaikan oleh penerbitnya, Serambi, Perempuan Batu adalah satu dari tetralogi Tariq Ali (setelah Kitab Salahuddin dan Bayang-bayang Pohon Delima , keduanya terbit tahun 2006). Kehadirannya semakin memperkaya novel-novel berlatar sejarah (Islam) dalam khazanah susastra (terjemahan) Indonesia . Setidaknya, melalui Perempuan Batu, saya tidak terjebak pada satu sudut pandang budaya Islam dalam pemahamannya terhadap Allah. Kehidupan para darwis di masa itu terasa unik, karena memiliki cara tersendiri dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya, melalui jalan ekstase, dan... erotisisme.[]
Kurnia Effendi, pecinta sastra
Sumber: Azzikra edisi Juni 2006
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar